BAB II
HIDUP, KARYA, DAN LATAR BELAKANG PEMIKIRAN NICCOLO MACHIAVELLI TENTANG NILAI POLITIS AGAMA
2.1. Riwayat Hidup
Nama Lengkap Machiavelli adalah Niccolo di Bernardo dei Machiavelli. Ia lahir pada tanggal 3 Mei 1469 di Firenze. Pada saat kelahirannya, Italia berada di bawah kepemimpinan Lorenzo Agung (1464-1492). Ayahnya bernama Bernardo Machiavelli, seorang pengacara terkenal yang bekerja sebagai pegawai pemerintah pada kantor pajak. Bernardo berasal dari keluarga bangsawan. Meski berasal dari keluarga bangsawan, mereka tidak sekaya bangsawan lainnya. Bernardo menginginkan kelak Machiavelli menjadi seorang teknokrat, sedang ibunya merindukan anaknya menjadi imam atau rohaniwan. Tetapi Machiavelli sendiri kemudian berkembang menjadi seorang politikus dengan ide-ide yang konkret, praktis, dan peka terhadap prioritas-prioritas tindakan. Sebagai seorang yang gemar akan ilmu pengetahuan, Bernardo sangat mengagumi sejarah masa-masa klasik Yunani dan Romawi. Bernardo Machiavelli menekuni karya-karya klasik Cicero, seperti: Phillipus, On Moral Obligation dan The making of an Orator, serta membaca History karya Livius. Karya Livius ini 40 tahun kemudian menjadi kerangka dasar pemikiran dan argumentasi karya Machiavelli, The Prince. Kekaguman Bernardo terhadap karya-karya klasik kemudian diwariskan pada Machiavelli anaknya. Bernardo menyadari bahwa ilmu-ilmu kemanusiaan tidak hanya penting bagi dirinya, tetapi juga anaknya. Pada zamannya, ilmu-ilmu kemanusiaan merupakan syarat penting yang harus dimiliki seorang calon pemimpin negara. Maka masuk akal bila Bernardo mendidik anaknya mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan, agar di kemudian hari anaknya menjadi orang terkemuka. Ketika berusia 12 tahun, Machiavelli belajar ilmu-ilmu kemanusiaan di bawah asuhan Paulo Ronsiglione. Buku-buku yang berisi ilmu-ilmu kemanusiaan ditulis dalam bahasa Latin, namun tidak terlalu sulit bagi Machiavelli untuk memahaminya karena ia telah belajar bahasa Latin sejak berusia 6 tahun. Ronsiglione mengajar pemikiran Humanisme tentang tokok-tokoh termasyur Humanisme yang sezaman dengan Machiavelli. Berdasarkan catatan harian Bernardo tanggal 5 November 1481, dikatakan bahwa Machiavelli dalam usianya yang ke 14 telah mampu menulis karangan dalam bahasa Latin dengan mengikuti metode humanis standar yakni meniru gaya-gaya penulisan klasik. Machiavelli kemudian belajar di Universitas Florence. Ia mempelajari kajian-kajian klasik dari Marcello Adriani. Diketahui bahwa pada tahun 1502 Machiavelli menikahi Marietta Corsini yang kelak melahirkan enam anak baginya. Kehidupan keluarga Machiavelli dikatakan kurang bahagia yang mungkin disebabkan oleh kesibukan politik Machiavelli. Dalam kaitan kehidupan Machiavelli dengan wanita, dalam satu surat kepada temannya Fransesco Vettori, Machiavelli melukiskan pertemuannya dengan seorang pelacur. Menurut Vettori, Machiavelli memiliki bentuk tubuh yang langsing, rambut hitam, mata berkilap-kilap, hidung mancung, dan mulut selalu terkatup rapat. Semua itu mengesankan sosok Machiavelli sebagai pengamat dan pemikir yang tajam tetapi tak bisa memberikan pengaruh kepada orang lain.
2.2. Bidang-Bidang dan Karya Niccolo Machiavelli
Machiavelli dikenal sebagai seorang filsuf dan politikus yang memiliki gagasan yang mampu mempengaruhi dunia. Dalam bidang filsafat, karya termasyur Machiavelli adalah buku Il Principe dan Discoursus. Secara keseluruhan, terdapat tiga macam bidang yang dikerjakan Machiavelli, yaitu bidang diplomasi, militer dan karya tulis.
2.2.1. Bidang Diplomasi
Machiavelli mulai tampil di depan publik tahun 1498, ketika Soderini berhasil menggulingkan rezim teokratis Savoranola. Masuknya Machiavelli dalam kancah politik Florence disebabkan oleh hubungan persahabatannya dengan Soderini sang penguasa baru. Machiavelli dilantik menjadi sekretaris, merangkap anggota majelis sepuluh, sebuah badan penasihat presiden yang berwenang memberi nasihat dalam operasi militer dan mengirim duta atau diplomat Florence ke negara-negara tetangga. Pada mulanya jabatan sekretaris dibiarkan kosong, namun setelah penundaan beberapa minggu, nama Machiavelli yang nyaris tidak terkenal, disodorkan untuk mengisinya. Dia baru berusia 29 tahun dan muncul tanpa memiliki pengalaman administratif sebelumnya. Dengan bakatnya yang luar biasa, ia mengadakan analisa dan observasi yang tajam terhadap kekuatan politik yang ada. Karena keberhasilannya sebagai seorang diplomat yang tangguh, ia dikenal sebagai tangan kanan Soderini. Selama empat belas tahun Machiavelli menjadi politikus praktis, terlibat sebagai pelaku dalam panggung kekuasaan republik Florence, dan beberapa kali berperan sebagai diplomat atau pejabat negara. Beberapa misi diplomatik yang dilakukan Machiavelli antara lain, tahun 1500 bertemu dengan Raja Louis untuk membantu Florence meneruskan peperangan dengan negara kota Pisa. Tahun 1503 berangkat ke Roma untuk melaporkan pemilihan dan kebijaksanaan Paus baru, Julius II. Sedangkan pada tahun 1506 bertemu kembali dengan Paus Julius untuk membicarakan bantuan Florence bagi kampanye Julius II untuk mendapatkan kembali daerah-daerah negara kepausan yang hilang dalam rangka membangun kembali negara kepausan.
Machiavelli mempunyai bakat yang menonjol dalam melaporkan hasil pengamatannya atas kondisi-kondisi politik dari negara-negara yang dikunjungi. Ia menarik kesimpulan-kesimpulan umum berdasarkan detail-detail yang diamatinya secara cermat. Salah satu kesimpulan yang kemudian menjadi obsesinya adalah bahwa kelanggengan negara Florence sangat tergantung dari angkatan bersenjata yang anggotanya berasal dari warga negara sendiri dan bukan terdiri dari tentara bayaran dari luar negeri. Machiavelli menjadi pencetus pertama gagasan untuk pertahanan dan keamanan dari negara modern.
Pada tahun 1512 Florence dikuasai kembali oleh keluarga Medici, dan kekuasaan Soderini direbut kembali. Berakhirlah republik Florence dan berakhir pula karier Machiavelli sebagai seorang aktivis politik. Sebuah karier yang sangat disukai oleh Machiavelli, dan ingin dilanjutkan di atas panggung politik yang dibangun kembali oleh keluarga Medici, yang kelak akan memerintah Florenceh sampai tahun 1737.
Setelah berhasil merebut kembali kekusaan, Medici menyingkirkan semua kaki tangan Soderini dari panggung politik. Machiavelli juga tersingkir dan menjadi warga negara Florence yang marjinal, masuk barisan rakyat biasa tanpa embel-embel kekuasaan dan previlese apa pun. Keseharian hidup Machiavelli setelah tersingkir dari panggung politik dilalui dengan menulis dan berpikir (1512-1527). Tahun 1513 Machiavelli dijatuhi hukuman penjara atas tuduhan terlibat dalam komplotan melawan penguasa sah Medici. Tetapi karena bantuan para sahabatnya yang masih berpengaruh dalam pemerintahan, dia dibebaskan dari hukuman penjara. Namanya direhabilitasi dan kemudian dia dipensiunkan pada umur 44 tahun. Dia menghabiskan masa pensiunnya dengan berdiam di sebuah perkebunan kecil miliknya di luar kota Florence daerah San Cassiano. Machiavelli tetap memiliki semangat yang berkobar dan keinginan yang kuat untuk mengabdi negaranya, walaupun Medici pernah memberikan hukuman kepadanya. Bagi Machiavelli, negaranya berada di atas segala kepentingan lainnya. Kepada seorang sahabat, Machiavelli pernah mengatakan bahwa ia mengasihi negerinya melebihi jiwanya. Berkat bantuan sahabat-sahabatnya dan beberapa organisasi di Florence, Machiavelli masih sempat diutus untuk melaksanakan beberapa misi khusus. Tahun 1519 Leo X meminta nasihat kepada Machiavelli mengenai beberapa masalah politik. Tahun 1526, Giulio de Medici yang pada saat itu telah menjadi Paus dengan nama Clement VII, menugaskan Machiavelli untuk mengawasi benteng-benteng pertahanan Florence. Pada 20 Juni 1527, Machiavelli meninggal dunia.
2.2.2 Bidang Militer
Meskipun Machiavelli dikenal sebagai diplomat yang ulung, namun dikatakan bahwa profesi yang paling cemerlang selama empat belas tahun menjadi pejabat pemerintah Republik Florence ialah dalam bidang militer. Republik Florence tidak mempunyai tentara sendiri. Dalam urusan pertahanan dan keamanan, mereka membayar tentara sewaan yang berperang karena upah bagi siapapun yang menyewa mereka. Ketika diutus ke Perancis tahun 1500 untuk menemui Raja Louis XII, Machiavelli terkejut dengan sikap orang-orang Perancis yang mencemoohkan negeri yang begitu dicintainya dengan sebutan Ser Nihilo atau Tuan Nihil. Selain itu, Machiavelli mengetahui persis sejarah tentang peristiwa Vitelli, dimana dikisahkan bahwa pemerintah Florence membayar pasukan Vitelli dengan harga yang sangat mahal untuk merebut Pisa. Tetapi karena Pisa memberikan bayaran yang lebih besar dari Florence, maka misi untuk merebut Pisa tidak terlaksana. Machiavelli menyadari bahwa betapa pentingnya sebuah negara memiliki pasukan sendiri. Uraian mengenai pentingnya sebuah negara mempunyai pasukan sendiri termuat dalam tiga bukunya, Il Principe, Discursus, dan The Art Of War. Ia menulis:
Angkatan perang yang merupakan landasan seorang raja untuk mempertahankan negaranya, bisa angkatan perangnya sendiri atau pasukan tentara bayaran. Tentara bayaran tidak ada gunanya dan berbahaya. Kalau seorang raja mengandalkan pertahanan negaranya pada tentara bayaran, ketenangan dan keamanan tak pernah akan dicapainya. Karena mereka tidak dapat dipersatukan, haus akan kekuasaan, tidak disiplin, dan tidak setia. Alangkah baiknya jikalau sebuah negara memiliki pasukannya sendiri. Seperti kerajaan Roma dan Sparta yang bertahan lama bertahun-tahun, karena mereka memiliki angkatan perang yang lengkap dan merdeka seutuhnya”.
Gagasan Machiavelli ini diterima dan disetujui oleh pihak pemerintah Florence. Tahun 1506 Machiavelli mulai membentuk dan melatih warga negara Florence yang diwajibkan menjadi tentara. Dalam mempersiapkan pasukan, Machiavelli dibantu oleh beberapa sahabat yang memiliki keahlian dalam bertempur di medan perang. Dua tahun kemudian, Machiavelli dipercaya menjadi penanggung jawab perebutan kembali Pisa. Ia sendiri langsung memimpin tentaranya untuk menyerang Pisa dan tahun 1509 Pisa menyerah. Itulah hasil nyata Machiavelli dalam bidang militer.
2.2.3. Karya Tulis
Setelah dibebastugaskan dari jabatan-jabatannya, Machiavelli mengisi hidupnya dengan menekuni bidang tulis menulis. Hasil karya tulisnya walau tidak terlalu banyak, tetapi memiliki daya tarik tersendiri. Hasil tulisannya dapat dikategorikan ke dalam dua bagian, yaitu bidang sastra dan politik. Beberapa tulisannya dalam bidang sastra antara lain komedi Mandragola yang mengisahkan tentang rayuan seorang hakim tua terhadap istri muda yang cantik. Komedi ini dipentaskan di depan Paus Leo X tahun 1520 dan dicetak pada tahun 1524, Puisi berjudul Andris et Clizia (1525), novel Belfagor Arcidialova dan L’ asino d’ oro. Dalam bidang militer, Machiavelli menulis The Art of war ( Seni Berperang). Buku ini merupakan hasil keikutsertaannya dalam perkumpulan Orti Oricellari (Perkumpulan para filsuf pengamat politik). Buku ini banyak dijiplak dan sangat populer sampai abad XVI. Penulisan buku ini berdasarkan hasil permenungan mendalam tentang sejarah Italia yang tak berdaya menghadapi serangan Perancis pada tahun 1494. Buku History of Florence (Sejarah Florence) ditulisnya berdasarkan permintaan keluarga Medici yaitu Paus Clement VII. Dua karya tulisnya dalam bidang filsafat yang sangat terkenal sampai dengan sekarang ini ialah Discourses (Percakapan) yang merupakan komentar terhadap sepuluh buku pertama Livy’s history of Roma ( Sejarah Roma yang ditulis oleh Livius). Buku ini dipertsembahkan kepada Rucellai yang berjasa memprakarsai pertemuan kelompok Orti Oricellari dan kepada Buondelmonti, salah seorang konspirator tahun 1522. Buku keduanya adalah Il Principe ( Sang Penguasa) yang menjadi dasar pembahasan filsafat politik Machiavelli. Buku ini merupakan kado persembahan kepada Lorenzo de’ Medici.
2.3. Gambaran Umum Filsafat Niccolo Machiavell
Machiavelli dikenal sebagai tokoh dan sekaligus pendiri filsafat politik modern. Dikatakan sebagai pendiri filsafat politik modern karena Machiavelli bertolak dari sesuatu yang baru, modern, yang belum pernah ada sebelumnya. Buku Il Principe yang menjadi karya termasyurnya merupakan lambang revolusi pandangan filsafatnya yang bertitik tolak pada realitas kehidupan politik dalam konteks principalities (kepangeranan) di wilayah Toscana, Italia. Hal inilah yang membedakan pemikirannya dengan para pendahulunya seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles yang bertitik tolak dari apa yang ideal. Pemikiran filosofis Machiavelli mencakup beberapa bidang seperti negara, hukum, kekuasaan, politik dan moralitas, dan agama.
2.3.1. Negara
Filsafat politik Machiavelli berangkat dari desakan keadaan yang menuntut pemikiran dan tindakan praktis serta konkrit. Bila kita menyimak pemikiran-pemikiran Machiavelli secara menyeluruh, jelas terlihat bahwa negara menduduki tempat yang istimewa dalam pemikiran politiknya. Ketidakcakapan dan kelemahan penguasa mengakibatkan negara terpecah belah dan menimbulkan anarki. Melalui nasihat-nasihat praktisnya, ia ingin membentuk dan melahirkan penguasa-penguasa yang cakap dan kuat agar negara utuh dan jaya. Menurutnya, adanya penguasa adalah untuk dan demi negara. Sedangkan negara itu ada demi kepentingan dirinya sendiri. Negara harus diberi priorotas pertama dalam benak dan dalam gerak tindak seorang penguasa. Setiap pertimbangan dan kebijakan yang ditempuh oleh penguasa haruslah berdasar pada kepentingan negara. Dalam menjelaskan tentang negara, Machiavelli menjelaskan tentang awal terbentuknya negara. Ia mengatakan:
Terciptanya suatu negara pertama-tama adalah timbulnya kesadaran manusia untuk mempertahankan diri dan memperoleh rasa aman dalam hidup. Pada permulaan dunia, ketika manusia masih sedikit, mereka hidup bertebaran seperti binatang. Ketika jumlah mereka bertambah banyak, mereka berkumpul bersama dan mencari di antara mereka seorang yang kuat dan berani untuk menjadi pemimpin bagi manusia lainnya. Dari sinilah mulai berkembangnya pengetahuan tentang hal yang baik dan yang jahat. Menyadari bahwa ada kebaikan dan kejahatan, maka manusia membuat hukum-hukum untuk menjauhkan perbuatan jahat serta merancang hukuman bagi yang melanggar hukum. Dengan demikian munculah kesadaran manusia akan keadilan. Dengan adanya kesadaran akan keadilan, maka ketika manusia memilih seorang pemimpin, mereka tidak lagi mencari sosok yang paling kuat dan berani, tetapi mereka akan memilih orang yang paling bijak dan paling adil.
Tentang bentuk-bentuk negara, Machiavelli mengatakan terdapat dua bentuk negara yang paling penting, yaitu republik dan monarki. Selain kedua bentuk negara tersebut, Machiavelli juga mengenal bentuk-bentuk negara yang lain. Pengetahuannya tentang bentuk-bentuk negara tidak terlepas dari pengaruh pandangan para filsuf dan pemikir jaman sebelum kelahirannya, seperti Plato dan Aristoteles. Plato mengemukakan bahwa terdapat lima bentuk negara, yaitu aristokrasi, timokrasi, demokrasi dan tirani. Sedangkan Aristoteles mengemukakan enam bentuk negara. Tiga bentuk negara yang baik adalah monarki, aristokrasi, dan politeia (Republik), sedangkan tiga bentuk negara yang buruk adalah tirani, oligarki, dan demokrasi.
Semua ajaran tentang bentuk-bentuk negara tersebut di atas, sesungguhnya tidak asing bagi Machiavelli. Pengetahuannya tersebut diungkapkannya dalam bukunya yang berjudul Discursus. Ia menulis:
…izinkan saya mengatakan bahwa orang-orang yang telah menulis tentang republik menyatakan bahwa terdapat tiga jenis pemerintahan yang mereka sebut monarki, aristokrasi dan demokrasi. Mereka yang mengorganisasi pemerintahan cenderung memilih salah satu yang dirasa tepat bagi mereka. Sementara beberapa penulis lain dan manusia-manusia yang lebih bijak mengatakan bahwa terdapat enam jenis pemerintahan di dunia. Tiga diantaranya sangat buruk dan tiga yang lainnya dalam dirinya sendiri baik, tapi sangat mudah korup sehingga mereka dapat menjadi jahat. Tiga bentuk negara yang buruk bergantung pada tiga bentuk negara yang baik. Dengan satu cara tertentu, mereka dengan mudah dapat melompat dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Monarki dapat dengan mudah menjadi tirani, aristokrasi dapat dengan mudah memproduksi sebuah oligarki, dan demokrasi dapat berubah menjadi anarki.
Setelah melihat dan membandingkan penggolongan bentuk negara serta menguji hakikat dari setiap bentuk negara yang ada, maka Machiavelli berpendapat bahwa dari semua bentuk negara yang ada, hanya ada dua bentuk negara, yakni republik dan monarki. Hakikat dari kedua bentuk negara ini telah berlangsung lama.
Berbicara tentang tujuan negara, Machiavelli berbeda pendapat dengan para pemikir politik sebelumnya. Mereka pada umumnya berpendapat bahwa tujuan negara adalah keadilan, kebajikan, kebebasan, kesempurnaan hidup dan demi kemuliaan Allah. Tujuan negara menurut Machiavelli adalah untuk pertahanan diri. Sebab menurutnya semua tujuan warga negara selalu identik dengan tujuan negara.
2.3.2. Hukum
2.3.2.1. Hukum Dalam Discoursus
Gagasan hukum yang disampaikan Machiavelli bertitik tolak dari realitas negara Italia yang sedang berada dalam kondisi yang sangat buruk, penuh kekacauan, kelicikan, kekejaman dan ketidakadilan. Untuk mengatasi keadaan yang demikian, Machiavelli sependapat dengan Plato dalam hal hubungan penguasa dengan hukum. Plato mengatakan bahwa seorang penguasa tidak diikat dan dibelenggu oleh hukum dan undang-undang. Mengikuti jalan pemikiran Plato, Machiavelli mengatakan bahwa demi kepentingan negara, sang penguasa boleh bertindak di luar hukum. Hukum dibuat oleh manusia atas desakan kebutuhan dan hukum itu tidak mutlak. Hukum yang baik harus mengabdi kepada negara dan harus sanggup melanggengkan negara. Machiavelli juga melihat bahwa hukum sangat penting bagi suatu negara. Hukum dikatakan penting karena memiliki daya ikat yng mampu membatasi pergerakan manusia. Machiavelli berasumsi bahwa pada dasarnya manusia adalah jahat dan oleh karena itu harus ada hukum. Hukum membuat manusia menjadi baik. Ia mengatakan:
Setiap orang yang mengorganisir suatu negara dan menyusun undang-undang harus berasumsi bahwa semua manusia adalah jahat dan akan selalu melakukan kejahatan ketika ada kesempatan untuk melakukannya. … Seperti kemiskinan dan kelaparan membuat manusia rajin, demikian juga hukum membuat manusia menjadi baik.
Meski ia berkata bahwa seorang penguasa boleh bertindak di luar hukum, tetapi sesungguhnya Machiavelli tidak menyepelekan hukum. Pernyataan bahwa penguasa boleh bertindak di luar hukum dikarenakan oleh realitas kekacauan yang menuntut penguasa harus bertindak demi menyelamatkan negaranya. Bagi Machiavelli, hukum harus ditampilkan untuk menghadapi kejahatan yang dapat mengganggu ketertiban dan keutuhan negara.
2.3.2.2. Hukum Dalam Il Principe
Machivelli berpendapat bahwa suatu negara harus dibangun di atas dua dasar yang kuat sehingga negara tersebut dapat stabil. Dasar stabilitas kekuasaan negara adalah hukum yang baik dan angkatan bersenjata yang handal. Ia mengatakan:
Dasar setiap negara, entah negara baru maupun negara lama atau negara campuran, ialah hukum dan pasukan yang baik. Dan karena orang tidak dapat mempunyai hukum yang baik tanpa angkatan perang yang baik, dan setiap pasukan yang baik pasti diikuti dengan hukum yang baik, maka saya tidak akan membahas hukum, tapi lebih memusatkan perhatian pada angkatan perang.
Kutipan di atas mempertegas bahwa Machiavelli menghendaki berdirinya suatu negara di atas landasan hukum dan militer yang menjadi wujud kekuatan dan kekuasaan secara fisik. Oleh karena ia menempatkan hukum dan kekuasaan secara bersama selaku penopang negara, maka ada beberapa ahli berpendapat bahwa Machiavelli memandang hukum dan kekuasaan itu sama. Namun bila disimak dengan cermat ungkapan di atas, jelas tampak superioritas kekuasaan terhadap hukum. Hukum bahkan bergantung pada kekuasaan. Militer yang baik merupakan syarat bagi hukum yang baik. Pernyataan bahwa hukum tidak sama dengan kekuasaan dan kekuasaan lebih unggul dari hukum, tampak jelas dalam tulisan Machiavelli:
Anda tentu tahu bahwa ada dua cara untuk berjuang, yang satu lewat hukum dan yang lain lewat kekuasaan atau kekuatan. Cara pertama digunakan oleh manusia, sedang cara kedua digunakan oleh hewan. Tetapi karena cara yang pertama seringkali tak memadai, maka harus ditempuh cara kedua.
Pernyataan Machiavelli di atas hendak menjelaskan bahwa dalam keadaan negara yang kacau, hukum tidak mampu mengatasi kekacauan. Dalam situasi demikian, sang penguasa berhak menggunakan kekuasaannya untuk mengatasi kekacauan dan mengamankan negara dari perpecahan.
2.3.3. Kekuasaan
Para filsuf abad pertengahan pada umumnya mengaitkan kekuasaan dengan kebaikan, kebajikan, keadilan, dn kebebasan. Para pemikir religius mengaitkan kekuasaan dengan Tuhan. Bagi mereka sekalian, kekuasaan politik hanya sebagai alat untuk mengabdi tujuan negara yang dianggap mulia, yakni kebaikan , kebajikan, keadilan, kebebasan yang berlandaskan kehendak Tuhan dan untuk kemuliaan Tuhan.
Machiavelli tidak sependapat dengan para filsuf dan pemikir religius yang membelenggu dan membatasi kekuasaan dengan kebaikan, kebajikan, keadilan, kebebasan, etika, budaya dan religi. Menurutnya, kekuasaan bukan alat yang mengabdi kepada kebaikan, kebajikan, keadilan, kebebasan dan Tuhan, tetapi alat yang harus mengabdi kepada kepentingan negara itu sendiri. Kekuasaan harus digunakan oleh sang penguasa untuk menyelamatkan kehidupan negara dan mempertahankan kemerdekaannya. Dalam keadaan tertentu, kekuasaan harus dibebaskan dan dilepaskan dari kebaikan, kebajikan, keadilan, kebebasan, dan Tuhan. Machiavelli menegaskan bahwa tidak ada kaitan atau relevansi antara kekuasaan dengan teologi Kristen, kecuali sejauh agama atau moral itu memiliki nilai utilitarianisme bagi kekuasaan dan negara. Ia menyangkal asumsi bahwa kekuasaan adalah alat atau instrumen belaka untuk mempertahankan nilai-nilai moralitas, etika atau agama. Baginya,
segala kebajikan, agama, moralitas justru harus dijadikan alat untuk memperoleh dan memperbesar kekuasaan. Jadi kekuasaan haruslah diperoleh, digunakan, dan dipertahankan semata-mata demi kekuasaan itu sendiri. Dengan pandangannya itu, Machiavelli menolak tegas doktrin Aquinas tentang gambaran penguasa yang baik. Aquinas dalam karyanya The Government of Princes berpendapat bahwa penguasa yang baik harus menghindari godaan kejayaan dan kekayaan-kekayaan duniawi agar memperoleh ganjaran surgawi kelak. Bagi Machiavelli, penguasa yang baik harus berusaha mengejar kekayaan dan kejayaan,
karena keduanya merupakan nasib mujur yang dimiliki seorang penguasa. Adanya perbedaan konsep dengan pemikir sebelumnya, Machiavelli disebut sebagai pelopor yang memberi tempat dalam pemikiran filsafatnya untuk berbicara tentang kekuasaan manusia. Manusia menjadi pusat realitas, prinsip induk, manusia sebagai subyek, dan manusia sebagai pemegang kekuasaan sekuler.
2.3.4. Politik dan Moralitas
Filsafat politik Machiavelli bertolak dari desakan keadaan dan tuntutan situasi khaos, sehingga menimbulkan kemungkinan besar suatu ketidakstabilan kekuasaan. Maka tujuan utama berpolitik adalah mengamankan kekuasaan yang ada pada tangan seorang penguasa. Persoalan kekuasaan yang diutamakan bukan soal legitimasi moral, tetapi bagaimana kekuasaan yang tidak stabil itu menjadi stabil dan lestari. Machiavelli secara tegas membuat pemisahan antara politik dan moralitas. Menurutnya, politik dan moralitas merupakan dua bidang yang terpisah. Dalam urusan politik, tidak ada tempat untuk membicarakan masalah moral. Pemisahan tegas antara prinsip moral, etika dan prinsip ketatanegaraan didasarkan pada adanya perbedaan antara ketiganya. Moral dan tata susila merupakan suatu kemungkinan yang diharapkan, sedangkan ketatanegaraan adalah kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Suatu kenyataan harus dibedakan dari suatu kemungkinan yang diharapkan. Karena itu, bidang politik tidak perlu memperhatikan bidang moral, karena tujuan politik jauh lebih nyata dari tujuan moral. Machiavelli menegaskan bahwa jka ingin mempertahankan kesatuan dan kedamaian, maka negara harus mengejar tujuan-tujuan nyatanya. Pemisahan etika dan nilai moral dari politik tidak berarti bahwa Machiavelli mengesampingkan atau menempatkan etika dan moral pada posisi yang lebih rendah atau tidak dibutuhkan manusia. Machiavelli justru hendak menunjukkan bahwa pemisahan politik dari etika menempatkan kedua-duanya menjadi independen, mandiri dan tidak saling bergantung. Meski membuat pemisahan politik dan nilai moral, Machiavelli mengatakan bahwa tindakan para penguasa yang bersifat kriminal, amoral, licik dan jahat hanya dapat dibenarkan dalam keadaan darurat dan demi kepentingan negara semata-mata. Kejahatan tidak boleh menjadi tujuan dari segala tindakan dan perbuatan para penguasa.
2.3.5. Agama
Abad pertengahan merupakan jaman dimana negara berada di bawah dominasi kekuasaan rohani gereja Katolik. Segala bentuk kekuasaan, hukum, undang-undang, serta pranata-pranata sosial masyarakat dikaitkan dengan Tuhan. Tuhan menjadi sumber dan pusat segala kegiatan manusia. Model kekuasaan ini mulai mengalami krisis ketika manusia mulai menyadari dirinya sebagai makhluk yang bebas. Awal kesadaran manusia inilah yang disebut sebagai pencerahan atau jaman Renaissance. Jaman Renaisaance memunculkan para tokoh dan filsuf besar yang berjuang melawan dominasi agama.
Salah satu tokoh Renaissance yang terkenal adalah Machiavelli. Ia mempersoalkan tentang kekuasaan gereja yang sangat mendominasi negara. Ide pokok pemikirannya adalah negara jangan sampai dikuasai oleh agama, sebaliknya negara harus mendominasi agama. Menurutnya, agama dapat mendukung patriotisme dan memperkuat pranata-pranata kebudayaan. Konsep ini dibuatnya berdasarkan pemahamannya tentang agama Romawi kuno, bukan berdasarkan realitas kekristenan pada masanya. Menurutnya, agama Romawi kuno lebih bersifat integratif dibandingkan agama Kristen. Agama Romawi kuno berhasil mempersatukan negara, membina loyalitas, dan kepatuhan rakyat terhadap otoritas penguasa Romawi. Gagasan pragmatis Machiavelli tidak hendak mengatakan bahwa ia seorang ateis. Hal yang ia persoalkan dalam agama bukanlah ada tidaknya Tuhan, tetapi fungsi agama dalam kehidupan masyarakat dan politik. Dengan adanya gagasan yang demikian, sebetulnya Machiavelli berhasil memperlihatkan bahwa agama tidak sekeramat yang disangka orang. Agama hanyalah salah satu pranata dalam kehidupan bermasyarakat yang bisa difungsikan. Menurutnya, penguasa yang cakap adalah dia yang mampu melihat agama sebagai suatu kekuatan yang bisa digunakan untuk memperkuat negara atau melayani kepentingan negara. Dalam melihat fungsi dan peran agama, Machiavelli memberikan kritik terhadap cara hidup kaum klerus dan kekristenan. Ia mengkritik kekristenan yang terlalu menyanjung dan memuliakan orang-orang yang sederhana dan yang senang berkontemplasi dari pada orang yang suka bertindak. Kekristenan terlalu mengidealkan kelembutan dan kerendahan hati dan amat meremehkan hal-hal duniawi. Kekristenan juga ikut membentuk sikap egois masyarakat, sehingga masyarakat mengabaikan negara sebagai persekutuan politik dan lebih mementingkan kepuasan rohani secara pribadi. Gereja dan pemimpin agama yang seharusnya mengajarkan nilai kebaikan dan moralitas, justru menjadi penyebab kemerosotan moral dan iman yang pada akhirnya menghancurkan Italia. Dalam situasi kekacauan serta kemerosotan moral masyarakat, Machiavelli menganjurkan kepada kekristenan dan kaum klerus untuk kembali menghidupkan prinsip dan nilai awali, sehingga kekristenan dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Para pemimpin Gereja yang telah menyimpang dari prinsip dasar kekristenan dihimbau untuk menghidupi kembali prinsip-prinsip yang telah diletakkan oleh pendiri. Jika kekristenan dan kaum klerus dapat hidup sesuai dengan semangat awali, maka dengan sendirinya negara dan masyarakat akan menjadi beradab. Agama dikatakan memiliki kekuatan, karena dalam agama terdapat nilai politis yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan negara. Nilai politis agama yang dimaksudkan Machiavelli antara lain adalah: agama dapat membentuk moralitas masyarakat, agama mampu mempersatukan masyarakat, agama dapat dijadikan sebagai alat bagi penguasa untuk mencapai kekuasaan, serta memudahkan suatu Negara . Berdasarkan sejarah Romawi kuno, agama dapat membangkitkan keberanian tentara.
2.4. Latar Belakang Pemikiran Machiavelli Tentang Nilai Politis Agama
Sebagai seorang tokoh humanis sejati, Machiavelli mempelajari dan mengagumi sejarah serta karya manusia, termasuk agama pada zaman purba. Bagi Machiavelli, agama merupakan salah satu karya manusia yang patut mendapat pujian tertinggi. Dalam Discoursus, Machiavelli menulis:
Di antara orang-orang yang pantas dipuji, yang paling pantas dipuji adalah para pemimpin dan pendiri agama-agama”.
Dalam menguraikan pendapatnya tentang politik agama, Machiavelli terispirasi oleh sejarah kerajaan Romawi kuno serta oleh berbagai situasi yang terjadi di sekitarnya. Berikut ini penulis memaparkan faktor-faktor yang melatar belakangi pemikiran Machiavelli tentang nilai politis agama.
2.4.1. Konteks Historis Agama Romawi Kuno
Titik tolak gagasan Machiavelli tentang politik agama adalah sejarah kerajaan dan agama Romawi kuno. Machiavelli banyak membaca buku-kuku klasik karya Cicero, seperti Phillipus, On Moral Obligation dan The making of an Orator, serta membaca History Of Florence karya Livius. Berdasarkan pengetahuan sejarah kerajaan Romawi serta agama kuno tersebut, Machiavelli berpendapat bahwa dalam agama terdapat nilai-nilai yang berguna bagi terciptanya suatu keadaan negara yang aman, tertib, damai, bersatu, dan kuat. Pendapat tersebut mengacu pada agama Romawi kuno yang dipakai oleh Numa Pompilius dalam menata kota dan masyarakat Romawi. Machiavelli mengagumi Numa sebagai seorang pemimpin yang jenius, karena ia mampu menggunakan cara baru yang sebelumnya tidak pernah dipakai oleh Romulus. Numa melihat realitas masyarakat Romawi yang tidak disiplin, tidak patuh pada hukum, dan tidak ada penghormatan terhadap tempat-tempat ibadah. Realitas yang demikian menginspirasikan Numa untuk membawa masyarakat kepada ketaatan sipil dengan cara damai. Cara damai yang dimaksudkan adalah dengan menggunakan agama sebagai salah satu institusi yang ada dalam masyarakat. Numa berhasil membentuk masyarakat yang pada awalnya sangat tidak disiplin menjadi disiplin dan taat. Ia berhasil membentuk sikap masyarakat untuk lebih menghormati tempat-tempat ibadah serta mengajari mereka untuk setia pada sumpah kepada dewa. Berkat kepemimpinan Numa Pompilius, kerajaan Romawi dapat hidup aman, damai, kuat, bersatu dalam waktu yang sangat lama. Numa berhasil menemukan permasalahan yang sebelumnya tidak diperhatikan oleh Romulus, yakni kemerosotan moral dan ketidakdisiplinan masyarakat yang disebabkan oleh tidak adanya penghormatan dan penghargaan terhadap nilai-nilai serta upacara dan tempat-tempat peribadatan agama. Agama yang sebelumnya tidak dihargai menjadi suatu kekuatan baru dalam tangan Numa. Ia membuat agama berperan besar dalam memimpin angkatan bersenjata, menyemangati rakyat, membuat orang-orang tetap baik, dan mempermalukan orang-orang jahat. Agama kuno Romawi dalam pandangan Machiavelli memiliki esensi yang kuat. Esensi agama kuno terletak dalam respons masyarakat terhadap titah ilahi dan sekumpulan nabi atau peramal. Oleh sebab itu, penting bagi seorang pemimpin agama atau nabi memberikan teladan hidup yang baik, demi terciptanya masyarakat yang disiplin, teratur, dan patuh. Machiavelli membuat kesimpulan bahwa jika seluruh masyarakat taat pada pengajaran agama dan ritus keagamaan, maka akan membawa kejayaan bagi negara. Tetapi bila masyarakat meremehkan praktek-praktek keagamaan serta tidak mengindahkan pengajarannya, maka keruntuhan negara tidak terelakkan. Hal demikian menurut Machiavelli sedang dialami oleh masyarakat Italia pada jamannya
2.4.2. Konteks Sosial Keagamaan
Setelah menjelaskan tentang kekaisaran Romawi kuno dan agama yang berperan di dalamnya, kini Machiavelli berhadapan dengan realitas kemerosotan moral dan keagamaan Italia pada umumnya. Menurutnya, faktor pertama penyebab kemerosotan moral ialah skandal-skandal moral yang dilakukan oleh pangeran-pangeran gereja yang menyebabkan disintegrasi moral publik. Dalam Discoursus ia menulis:
Tidak ada alasan lain atas penjelasan yang lebih baik terhadap kemerosotan moral, selain melihat bagaimana orang-orang yang lebih dekat dengan Gereja Roma yakni para pemimpin agama kita, ternyata kurang religius”.
Machiavelli juga mempersoalkan interpretasi agama tentang semangat dan penghayatan kekristenan. Menurutnya, semangat dan penghayatan yang diajarkan oleh kekristenan adalah keliru. Ketika itu agama Kristen ditafsirkan sebagai agama bagi manusia yang lembut dan rendah hati serta yang cinta akan pengurbanan. Machiavelli menghendaki reformasi di bidang keagamaan yang menunjang perkembangan patriotisme. Reformasi yang dikehendakinya adalah usaha reinterpretasi tentang semangat kekristenan secara baru, yakni agama yang aktif dan peka terhadap realitas, agar dari sana terhembus suatu kekuatan, sehingga membangkitkan semangat masyarakat dan menyelamatkan mereka dari dekadensi moral.
2.4.3. Konteks Sosial Politik
Machiavelli hidup pada era yang penuh pergolakan dalam politik Italia. Florence sebagai negara tempat Machiavelli dilahirkan juga mengalami goncangan politik yang hebat. Kehidupan politik Florence diwarnai oleh rangkaian perubahan hukum, konstitusi dan undang-undang. Bentuk negaranya pun berubah-ubah dari tirani, oligarki, demokrasi dan kembali ke oligarki. Perpecahan yang terjadi dalam negara-negara kota di Italia serta kesulitan dan kecemburuan menyebabkan timbulnya perang yang terus terjadi. Akibatnya adalah kekerasan semakin meluas, terjadi pengkhianatan dalam jabatan publik, konspirasi dan pembunuhan. Anarki kekuasaan pun terjadi, dimana rakyat tidak mengakui sepenuhnya kepemimpinan sang penguasa. Situasi kekacauan yang demikian mempengaruhi mentalitas dan moralitas masyarakat Italia pada titik paling rendah, karena antara individu dan negara bersaing meraih kekuasaan. Realitas politik dan masyarakat yang demikian menggugah Machiavelli untuk membantu negaranya dalam menemukan solusi terbaik. Kegemaran mempelajari karya-karya klasik serta sejarah dan agama Romawi kuno memampukan Machiavelli untuk menyumbangkan gagasan pemikirannya dalam menanggapi realitas kekacauan Italia pada umumnya. Machiavelli menawarkan kepada para penguasa untuk menggunakan agama sebagai institusi yang mampu mempersatukan, membuat patuh, dan membentuk moralitas masyarakat. Gagasan ini bersumber pada sejarah kesuksesan Numa dalam mempersatukan bangsa Romawi yang terpecah belah. Numa yang menggantikan Romulus menemukan bahwa Masyarakat Romawi sangat tidak disiplin. Ia ingin membawa mereka pada ketaatan sipil secara damai dengan cara pendekatan agama. Demikian juga Machiavelli menghendaki terbentuknya negara Italia yang kuat, bersatu dan tidak bergantung pada kekuatan negara lain.