Jumat, 26 November 2010

Maria Ozawa Infonesia

Selasa, 16 November 2010

NILAI POLITIS AGAMA MENURUT NICCOLO MACHIAVELLI (Suatu Relevansi Kritis Filosofis Atas Keterlibatan Agama dalam Politik di Indonesia) Nama: Simon Ria NPM: 06.09042.0000.64

BAB I
PENDAHULUAN


Pada bagian pendahuluan ini diuraikan soal latar belakang pemilihan tema, pembatasan masalah, tujuan pembahasan, dan sistematika penulisan. Bab pendahuluan ini merupakan suatu pengantar untuk masuk ke seluruh pembahasan karya tulis ini.

1.1.  Latar Belakang Pemilihan Tema
Politik dan agama merupakan dua domain yang berbeda. Dinamika politik lebih mengarah pada bagaimana cara memperoleh serta mempertahankan kekuasaan, sedangkan agama mengatur hubungan antara sesama manusia dan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Namun ketika kedua unsur ini berkolaborasi dan saling mempengaruhi, apakah yang terjadi? Pertanyaan ini berangkat dari realitas bangsa Indonesia, dimana mulai tampak bahwa politik dan agama bergerak melewati koridornya masing-masing. Dengan strateginya masing-masing, politik dan agama berusaha mencari celah untuk saling memanfaatkan. Politik memanfaatkan agama sebagai alat mencapai tujuan, memakai simbol agama untuk menarik simpatisan partai, dan menjadikan agama sebagai tameng ketika mereka diserang oleh lawan politiknya.
Bagaimanakah posisi agama? Agama melalui kehadiran para cendikiawan dalam partai tertentu, turut meramaikan bursa calon pemimpin atau legislatif. Suatu gambaran yang tidak asing ketika kita melihat tokoh agama tampil di hadapan publik dalam memberikan orasi dan kampanye politik. Namun bila ditinjau lebih jauh, masuknya agama dalam wilayah politik justru mengaburkan nilai kesakralannya. Agama yang seharusnya menjadi sumber inspiratif dan kekuatan etis yang dapat memberikan wajah manusiawi terhadap proses pembangunan masyarakat dan politik, justru menjadi kendaraan bagi para politikus.[1] Peran agama sebagai penjaga nilai moral menjadi mandul karena berada dalam kungkungan kepentingan politik.
Bila menelusuri sejarah politik bangsa Indonesia, kita akan menemukan beberapa contoh politikus yang mengintervensi agama demi kepentingan politik semata. Daniel Dhakidae dalam bukunya memberikan gambaran bagaimana pemerintahan Orde Baru menggunakan agama sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Ia mengatakan bahwa jika kita memeriksa Orde Baru tidak mungkin tanpa memeriksa agama-agama, dan siapapun yang memeriksa agama-agama di Indonesia hampir tidak mungkin tanpa memeriksa Orde Baru. Orde Baru tidak saja mengatur dan mengontrol lembaga-lembaga politik resmi negara, tetapi juga masuk sampai ke dalam unit-unit penting dan halus seperti agama. Beberapa kasus yang diungkapkan seperti intervensi terhadap kelompok Darul Arqam dan Kelompok HKBP ( Huria Kristen Batak Protestan) memberikan gambaran betapa berpengaruhnya pemerintah Orde Baru dalam wilayah agama.[2] 
Pada masa reformasi, kita masih melihat bagaimana partai politik memanfaatkan agama sebagai alat politik. Sebagai contoh, Pemilu tahun 1999, Partai yang memakai bendera lslam telah menggunakan agama sebagai alat politik. Mereka mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam dalam pemilu harus memilih partai yang memakai bendera Islam, jangan memilih partai yang tidak mengibarkan bendera Islam. Partai Islam mana yang harus dipilih, tidak disebutkan secara konkrit. Himbauan untuk memilih partai yang berbendera Islam, termasuk himbauan dari MUI sangat tidak logis, karena tidak ada satu Partai Islam yang programnya terang-terangan menghendaki kaum mustadhafin (yang tertindas dan miskin) menjadi pemimpin di bumi.[3]
Satu contoh terbaru dalam dunia politik adalah pemilu Presiden yang diselenggarakan pada 5 Juli 2009 lalu. Para elit politik memanipulasi agama untuk meraup suara mayoritas dengan menciptakan wacana Islam Nasionalis yang berkembang dalam pembentukan koalisi calon Presiden (Capres) dan calon wakil Presiden (Cawapres). Bahkan secara terang-terangan salah satu organisasi keagamaan menghimbau para jemaatnya untuk memilih salah satu calon Presiden dan wakil Presiden tertentu. Peristiwa ini tentu saja mencoreng citra bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan bagi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.[4]
Menghadapi realitas politik Indonesia seperti ini, apakah harus ada pemisahan antara politik dan agama? Tentu saja potret buram hubungan agama dan politik ini tidak serta-merta dijadikan alasan untuk memisahkan agama dari kehidupan politik. Bagaimanapun, dalam sejarah Indonesia, tidak mungkin memenjarakan agama hanya dalam wilayah "privat" komunitas masing-masing agama, dan pada saat yang sama menyerahkan kehidupan politik sepenuhnya kepada para politikus tanpa keterlibatan kaum agamawan. Hanya saja, kita perlu mewaspadai apa yang disebut Ignas Kleden, dengan mengutip Max Weber, sebagai caesaropapisme dan hierokrasi.[5]
Caesaropapisme (Caesaro = Kaisar, Penguasa; Papisme = Papa, Pastor) adalah kecenderungan pemimpin politik memperluas kekuasaannya hingga ke wilayah agama. Sedangkan Hierokrasi (hiero=hierarki, gereja; krasi=kekuasaan) adalah kecenderungan pemimpin agama untuk memperluas kekuasaannya hingga ke wilayah politik. Dua kecenderungan ini memang terjadi berabad-abad yang lampau di dunia Barat. Namun, bukan berarti tidak akan terulang di tempat yang lain dengan berbagai variasinya.[6]
Dalam sistem demokrasi, dua kecenderungan itu sama-sama berbahaya. Pemimpin politik yang memperluas kekuasaannya hingga ke wilayah agama akan cenderung mengeksploitasi agama untuk kepentingan politiknya dan sekaligus memandulkan peran agama sebagai kontrol moral terhadap kekuasaan. Sebaliknya, pemimpin agama yang memperluas kekuasaannya hingga ke wilayah politik akan sulit dikontrol dan dikritik karena kehadiran mereka di wilayah politik dianggap mewakili Tuhan.[7]
Ketidakdisiplinan dan kekacauan sistem politik dan keagamaan di Indonesia merupakan gambaran ketidakdisiplinan, ketidaktaatan dan sikap individualis yang tinggi dari masyarakat Indonesia. Realitas ini menggugah penulis untuk mengkritisi realitas yang ada dari sudut pandang pemikiran Niccolo Machiavelli tentang agama. Machiavelli mengatakan bahwa satu cara terbaik untuk meningkatkan kedisiplinan dan ketaatan sipil warga negara adalah kembali kepada agama. Dalam agama terdapat nilai politis yang sanggup membantu penguasa untuk mempersatukan dan membentuk sikap rakyatnya agar tetap bersatu dan senantiasa taat dan setia.[8]
Machiavelli mendasarkan argumentasinya pada sejarah kerajaan Romawi, dimana Numa sebagai pengganti Romulus melihat bahwa orang-orang Romawi paling tidak disiplin. Realitas ketidakdisiplinan masyarakat Romawi menginspirasikan Numa untuk kembali kepada agama sebagai sebuah institusi yang secara absolut perlu bagi pemeliharaan pemerintahan sipil. Dalam hal ini, Numa berhasil menggunakan agama untuk mendisiplinkan masyarakat Romawi yang sebelumnya dikenal sebagai masyarakat yang sangat tidak disiplin dan tidak taat.[9] Mengingat agama memiliki peran penting dalam mempersatukan masyarakat, Machiavelli secara tegas memberikan kritik terhadap kekristenan dan kaum klerus yang menurutnya menjadi penyebab kemerosotan moral pada masyarakat Italia. Meski memiliki kekuasaan dan kedudukan di Italia, namun Gereja tidak cukup kuat untuk memerintah Italia dan mengangkat dirinya sebagai penguasa.[10]
Situasi politik dan keagamaan yang terjadi saat ini mendorong penulis untuk memilih tema ini. Tema ini berangkat dari keprihatinan penulis terhadap cara beragama dan cara berpolitik masyarakat Indonesia. Para elit politik menggunakan agama bukan untuk kepentingan dan kebaikan masyarakat umum, tetapi demi kepentingan politik mereka semata. Demikian juga agama yang masuk dalam wilayah politik bukan sebagai institusi rohani yang menyuarakan nilai etis dan moral, tetapi justru memperluas dominasi mereka dalam wilayah politik dan pemerintahan. Di sinilah letak perbedaan cara pandang antara elit politik dan kaum cendikiawan Indonesia dengan cara pandang Machiavelli terhadap agama. Dalam memandang agama, Machiavelli lebih melihat agama sebagai institusi yang mampu mempersatukan dan membentuk moralitas masyarakat.  

1.2.  Pembatasan Masalah
 Machiavelli tidak berminat membahas soal teologi, doktrin-doktrin, asal usul, ajaran, pendiri, dan bahkan kebenaran tentang agama. Ia juga tidak memberikan suatu definisi khusus tentang apa dan bagaimana agama. Konsep agama yang dibicarakannya adalah agama sebagai institusi yang memiliki nilai politis yang mampu mempersatukan dan membentuk moralitas masyarakat. Dalam berbicara tentang agama, Machiavelli menggunakan metode historis. Ia membandingkan realitas Italia yang didominasi oleh kekristenan dengan agama Romawi kuno yang dipakai untuk mengorganisasi kota. Skripsi yang berjudul: NILAI POLITIS AGAMA MENURUT NICCOLO MACHIAVELLI  ini akan mengedepankan argumentasi Machiavelli dalam melihat agama sebagai institusi yang memiliki nilai politis yang dapat berguna bagi sang pangeran dan kesatuan negara.
Untuk mempertajam pembahasan ini, penulis bertitik tolak dari beberapa pertanyaan penuntun: Apa dasar pemikiran Machiavelli tentang nilai politis agama? Mengapa Machiavelli mengkritik kekristenan dan kaum klerus? Bagaimana Machiavelli melihat agama sebagai institusi yang memiliki nilai politis bagi penguasa dan masyarakat suatu negara? Apakah pemikiran Machiavelli tersebut masih relevan dengan realitas politik dan keagamaan Indonesia?

1.3.  Tujuan Pembahasan
Secara umum tulisan ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program Strata Satu di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang. Selain itu, ada beberapa hal yang menjadi tujuan khusus dari penulisan ini:
  1. Penulis ingin mendalami pendasaran argumen Niccolo Machiavelli dalam melihat agama sebagai institusi yang memiliki nilai politis yang berguna bagi kesatuan masyarakat. Dengan pemahaman yang tepat terhadap argumen nilai politis agama Machiavelli, kita dapat  membaca situasi, gerak politik dan keagamaan di Indonesia dewasa ini, serta mampu memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat, demi terciptanya masyarakat Indonesia yang bersatu dalam keanegaragaman.
  2. Sebagai seorang pemimpin religius yang bekerja dalam wilayah agama, kita semakin menyadari fungsi dan peran kita sebagai penginspirasi nilai kemanusiaan dan nilai moral bagi masyarakat, bukan sebagai seorang politikus.
1.4.  Sistematika Pembahasan
Tulisan ini dibagi dalam lima bab. Bab I: Pendahuluan. Bab pendahuluan membahas tentang latar belakang pemilihan tema, pembatasan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika pembahasan.
Bab II : Hidup dan latar belakang pemikiran Niccolo Machiavelli. Bagian ini memuat gambaran umum mengenai Niccolo Machiavelli. Pada bagian ini akan dibahas riwayat singkat Niccolo Machiavelli serta karya-karyanya yang terkenal, gambaran umum mengenai filsafat Niccolo Machiavelli dan latar belakang pemikiran Niccolo Machiavelli tentang agama. Pemikiran ini sangat penting untuk mengerti dengan baik mengenai nilai politis agama menurut Niccolo Machiavelli. Machiavelli mendasarkan argumennya pada realitas konkret yang dialaminya dalam kehidupan bangsa Italia.
Bab III : Nilai politis agama menurut Niccolo Machiavelli. Bagian ini merupakan inti karya tulis ini. Pada bagian ini, penulis akan mendeskripsikan definisi agama dan politik secara umum, memaparkan kritik Machiavelli atas kekristenan dan kaum klerus, nilai politis agama yang dimaksudkan oleh Machiavelli, serta pro dan kontra atas pemikiran Machiavelli. Machiavelli melihat agama mempunyai nilai politik, diantaranya adalah agama membentuk moralitas dan mempersatukan masyarakat, agama sebagai alat mencapai kekuasaan, serta membangkitkan semangat bertempur pasukan negara.
Bab IV : Relevansi kritis tentang nilai politis agama dalam konteks politik di Indonesia. Pada bagian ini penulis memaparkan tentang Indonesia sebagai negara demokrasi yang berketuhanan dan berpedoman pada Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945. Pada bagian selanjutnya, penulis membahas relevansi pemikiran nilai politis agama Machiavelli dalam konteks Indonesia. Dua pemikirannya yang masih relevan dengan konteks Indonesia adalah agama mampu mempersatukan dan membuat masyarakat menjadi patuh dan taat, serta agama dapat membentuk moralitas masyarakat. Walaupun konteks pemikiran Machiavelli adalah Italia dengan satu agama tunggal yakni Kekristenan, namun masih sangat relevan bagi konteks Indonesia yang plural.
Bab V : Penutup. Bab ini memuat rangkuman dari seluruh pembahasan. Penulis akan merangkum  beberapa hal penting yang dibahas oleh Machiavelli dalam menilai agama sebaga alat politik. Selanjutnya penulis membuat beberapa kesimpulan dasar atas karya tulis yang dibuat berdasarkan pemikiran Niccolo Machiavelli serta realitas politik dan agama di Indonesia dewasa ini.





[1] Sunardian Wirodono, Gerakan Politik Indonesia, Jakarta: Penebar Swadaya, 1995, hlm. 59.
[2] Daniel Dhakidae, Cendikiawan dan kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Jakarta: Gramedia, 2003, hlm. 734.
[3]Bdk. Agus Muhammad, “Mewaspadai Perselingkuhan Agama dan Politik”,
 
www.mail-archive.com/siarlist@minipostgresql.org/msg02496.html (Akses 12 Februari 2010).
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Dr. J.H. Rapar,Th.D., Ph.D, Filsafat Politik Machiavelli, Jakarta: Rajawali,1991, hlm. 103.
[9] Bdk. Niccolo Machiavelli, Diskursus, Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003, hlm. 49.
[10] Ibid, hlm. 55

BAB II
HIDUP, KARYA, DAN LATAR BELAKANG PEMIKIRAN NICCOLO MACHIAVELLI TENTANG NILAI POLITIS AGAMA

2.1. Riwayat Hidup
Nama Lengkap Machiavelli adalah Niccolo di Bernardo dei Machiavelli. Ia  lahir pada tanggal 3 Mei 1469 di Firenze. Pada saat kelahirannya,  Italia berada di bawah kepemimpinan Lorenzo Agung (1464-1492). Ayahnya bernama Bernardo Machiavelli, seorang pengacara terkenal yang bekerja sebagai pegawai pemerintah pada kantor pajak. Bernardo berasal dari keluarga bangsawan. Meski berasal dari keluarga bangsawan, mereka tidak sekaya bangsawan lainnya. Bernardo menginginkan kelak Machiavelli menjadi seorang teknokrat, sedang ibunya merindukan anaknya menjadi imam atau rohaniwan. Tetapi Machiavelli sendiri kemudian berkembang menjadi seorang politikus dengan ide-ide yang konkret, praktis, dan peka terhadap prioritas-prioritas tindakan.[1]  
Sebagai seorang yang gemar akan ilmu pengetahuan, Bernardo sangat mengagumi sejarah masa-masa klasik Yunani dan Romawi. Bernardo Machiavelli menekuni karya-karya klasik Cicero, seperti: Phillipus, On Moral Obligation dan The making of an Orator, serta membaca History karya Livius.[2]  Karya Livius ini 40 tahun kemudian menjadi kerangka dasar pemikiran dan argumentasi karya Machiavelli, The Prince. Kekaguman Bernardo terhadap karya-karya klasik kemudian diwariskan pada Machiavelli anaknya. Bernardo menyadari bahwa ilmu-ilmu kemanusiaan tidak hanya penting bagi dirinya, tetapi juga anaknya. Pada zamannya, ilmu-ilmu kemanusiaan merupakan syarat penting yang harus dimiliki seorang calon pemimpin negara. Maka masuk akal bila Bernardo mendidik anaknya mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan, agar di kemudian hari anaknya menjadi orang terkemuka.[3]
Ketika berusia 12 tahun, Machiavelli belajar ilmu-ilmu kemanusiaan di bawah asuhan Paulo Ronsiglione. Buku-buku yang berisi ilmu-ilmu kemanusiaan ditulis dalam bahasa Latin, namun tidak terlalu sulit bagi Machiavelli untuk memahaminya karena ia telah belajar bahasa Latin sejak berusia 6 tahun. Ronsiglione mengajar pemikiran Humanisme tentang tokok-tokoh termasyur Humanisme yang sezaman dengan Machiavelli. Berdasarkan catatan harian Bernardo tanggal 5 November 1481, dikatakan bahwa Machiavelli dalam usianya yang ke 14 telah mampu menulis karangan dalam bahasa Latin dengan mengikuti metode humanis standar yakni meniru gaya-gaya penulisan klasik. Machiavelli kemudian belajar di Universitas Florence. Ia mempelajari kajian-kajian klasik dari Marcello Adriani.[4]
Diketahui bahwa pada tahun 1502 Machiavelli menikahi Marietta Corsini yang kelak melahirkan enam anak baginya. Kehidupan keluarga Machiavelli dikatakan kurang bahagia yang mungkin disebabkan oleh kesibukan politik Machiavelli. Dalam kaitan kehidupan Machiavelli dengan wanita, dalam satu surat kepada temannya Fransesco Vettori, Machiavelli melukiskan pertemuannya dengan seorang pelacur. Menurut Vettori, Machiavelli  memiliki bentuk tubuh yang langsing, rambut hitam, mata berkilap-kilap, hidung mancung, dan mulut selalu terkatup rapat. Semua itu mengesankan sosok Machiavelli sebagai pengamat dan pemikir yang tajam tetapi tak bisa memberikan pengaruh kepada orang lain.[5]

2.2. Bidang-Bidang dan Karya Niccolo Machiavelli
Machiavelli dikenal sebagai seorang filsuf dan politikus yang memiliki gagasan yang mampu mempengaruhi dunia. Dalam bidang filsafat, karya termasyur Machiavelli adalah buku Il Principe dan Discoursus. Secara keseluruhan, terdapat tiga macam bidang yang dikerjakan Machiavelli, yaitu bidang diplomasi, militer dan karya tulis. 

2.2.1. Bidang Diplomasi
Machiavelli mulai tampil di depan publik tahun 1498, ketika Soderini berhasil menggulingkan rezim teokratis Savoranola. Masuknya Machiavelli dalam kancah politik Florence disebabkan oleh hubungan persahabatannya dengan Soderini sang penguasa baru. Machiavelli dilantik menjadi sekretaris, merangkap anggota majelis sepuluh, sebuah badan penasihat presiden yang berwenang memberi nasihat dalam operasi militer dan mengirim duta atau diplomat Florence ke negara-negara tetangga. Pada mulanya jabatan sekretaris dibiarkan kosong, namun setelah penundaan beberapa minggu, nama Machiavelli yang nyaris tidak terkenal, disodorkan untuk mengisinya. Dia baru berusia 29 tahun dan muncul tanpa memiliki pengalaman administratif sebelumnya. Dengan bakatnya yang luar biasa, ia mengadakan analisa dan observasi yang  tajam terhadap kekuatan politik yang ada. Karena keberhasilannya sebagai seorang diplomat yang tangguh, ia dikenal sebagai tangan kanan Soderini. Selama empat belas tahun Machiavelli menjadi politikus praktis, terlibat sebagai pelaku dalam panggung kekuasaan republik Florence, dan beberapa kali berperan sebagai diplomat atau pejabat negara.[6]
Beberapa misi diplomatik yang dilakukan Machiavelli antara lain, tahun 1500 bertemu dengan Raja Louis untuk membantu Florence meneruskan peperangan dengan negara kota Pisa. Tahun 1503 berangkat ke Roma untuk melaporkan pemilihan dan kebijaksanaan Paus baru, Julius II. Sedangkan pada tahun 1506 bertemu kembali dengan Paus Julius untuk membicarakan bantuan Florence bagi kampanye Julius II untuk mendapatkan kembali daerah-daerah negara kepausan yang hilang dalam rangka membangun kembali negara kepausan.
Machiavelli mempunyai bakat yang menonjol dalam melaporkan hasil pengamatannya atas kondisi-kondisi politik dari negara-negara yang dikunjungi. Ia menarik kesimpulan-kesimpulan umum berdasarkan detail-detail  yang diamatinya secara cermat. Salah satu kesimpulan yang kemudian menjadi obsesinya adalah bahwa kelanggengan negara Florence sangat tergantung dari angkatan bersenjata yang anggotanya berasal dari warga negara sendiri dan bukan terdiri dari tentara bayaran dari luar negeri. Machiavelli menjadi pencetus pertama gagasan untuk pertahanan dan keamanan dari negara modern.
Pada tahun 1512 Florence dikuasai kembali oleh keluarga Medici, dan kekuasaan Soderini direbut kembali. Berakhirlah republik Florence dan berakhir pula karier Machiavelli sebagai seorang aktivis politik. Sebuah karier yang sangat disukai oleh Machiavelli, dan ingin dilanjutkan di atas panggung politik yang dibangun kembali oleh keluarga Medici, yang kelak akan memerintah Florenceh sampai tahun 1737.
Setelah berhasil merebut kembali kekusaan, Medici menyingkirkan semua kaki tangan Soderini dari panggung politik. Machiavelli juga tersingkir dan menjadi warga negara Florence yang marjinal, masuk barisan rakyat biasa tanpa embel-embel kekuasaan dan previlese apa pun. Keseharian hidup Machiavelli setelah tersingkir dari panggung politik dilalui dengan menulis dan berpikir (1512-1527). Tahun 1513 Machiavelli dijatuhi hukuman penjara atas tuduhan terlibat dalam komplotan melawan penguasa sah Medici. Tetapi karena bantuan para sahabatnya yang masih berpengaruh dalam pemerintahan, dia dibebaskan dari hukuman penjara. Namanya direhabilitasi dan kemudian dia dipensiunkan pada umur 44 tahun. Dia menghabiskan masa pensiunnya dengan berdiam di sebuah perkebunan kecil miliknya di luar kota Florence daerah San Cassiano.[7] 
Machiavelli tetap memiliki semangat yang berkobar dan keinginan yang kuat untuk mengabdi negaranya, walaupun Medici pernah memberikan hukuman kepadanya. Bagi Machiavelli, negaranya berada di atas segala kepentingan lainnya. Kepada seorang sahabat, Machiavelli pernah mengatakan bahwa ia mengasihi negerinya melebihi jiwanya. Berkat bantuan sahabat-sahabatnya dan beberapa organisasi di Florence, Machiavelli masih sempat diutus untuk melaksanakan beberapa misi khusus. Tahun 1519 Leo X meminta nasihat kepada Machiavelli mengenai beberapa masalah politik. Tahun 1526, Giulio de Medici yang pada saat itu telah menjadi Paus dengan nama Clement VII, menugaskan Machiavelli untuk mengawasi benteng-benteng pertahanan Florence. Pada 20 Juni 1527, Machiavelli meninggal dunia.[8]

2.2.2 Bidang Militer
Meskipun Machiavelli dikenal sebagai diplomat yang ulung, namun dikatakan bahwa profesi yang paling cemerlang selama empat belas tahun menjadi pejabat pemerintah Republik Florence ialah dalam bidang militer. Republik Florence tidak mempunyai tentara sendiri. Dalam urusan pertahanan dan keamanan, mereka membayar tentara sewaan yang berperang karena upah bagi siapapun yang menyewa mereka. Ketika diutus ke Perancis tahun 1500 untuk menemui Raja Louis XII, Machiavelli terkejut dengan sikap orang-orang Perancis yang mencemoohkan negeri yang begitu dicintainya dengan sebutan Ser Nihilo atau Tuan Nihil. Selain itu, Machiavelli mengetahui persis sejarah tentang peristiwa Vitelli, dimana dikisahkan bahwa pemerintah Florence membayar pasukan Vitelli dengan harga yang sangat mahal untuk merebut Pisa. Tetapi karena Pisa memberikan bayaran yang lebih besar dari Florence, maka misi untuk merebut Pisa tidak terlaksana.[9]  
Machiavelli menyadari bahwa betapa pentingnya sebuah negara memiliki pasukan sendiri. Uraian mengenai pentingnya sebuah negara mempunyai pasukan sendiri termuat dalam tiga bukunya, Il Principe, Discursus, dan The Art Of War. Ia menulis:

Angkatan perang yang merupakan landasan seorang raja untuk mempertahankan negaranya, bisa angkatan perangnya sendiri atau pasukan tentara bayaran. Tentara bayaran tidak ada gunanya dan berbahaya. Kalau seorang raja mengandalkan pertahanan negaranya pada tentara bayaran, ketenangan dan keamanan tak pernah akan dicapainya. Karena mereka tidak dapat dipersatukan, haus akan kekuasaan, tidak disiplin, dan tidak setia. Alangkah baiknya jikalau sebuah negara memiliki pasukannya sendiri. Seperti kerajaan Roma dan Sparta yang bertahan lama bertahun-tahun, karena mereka memiliki angkatan perang yang lengkap dan merdeka seutuhnya”.[10]


Gagasan Machiavelli ini diterima dan disetujui oleh pihak pemerintah Florence. Tahun 1506 Machiavelli mulai membentuk dan melatih warga negara Florence yang diwajibkan menjadi tentara. Dalam mempersiapkan pasukan, Machiavelli dibantu oleh beberapa sahabat yang memiliki keahlian dalam bertempur di medan perang. Dua tahun kemudian, Machiavelli dipercaya menjadi penanggung jawab perebutan kembali Pisa. Ia sendiri langsung memimpin tentaranya untuk menyerang Pisa dan tahun 1509 Pisa menyerah. Itulah hasil nyata Machiavelli dalam bidang militer.[11]

2.2.3. Karya Tulis
Setelah dibebastugaskan dari jabatan-jabatannya, Machiavelli mengisi hidupnya dengan menekuni bidang tulis menulis. Hasil karya tulisnya walau tidak terlalu banyak, tetapi memiliki daya tarik tersendiri. Hasil tulisannya dapat dikategorikan ke dalam dua bagian, yaitu bidang sastra dan politik. Beberapa tulisannya dalam bidang sastra antara lain komedi Mandragola yang mengisahkan tentang rayuan seorang hakim tua terhadap istri muda yang cantik. Komedi ini dipentaskan di depan Paus Leo X tahun 1520 dan dicetak pada tahun 1524, Puisi berjudul Andris et Clizia (1525), novel Belfagor Arcidialova dan L’ asino d’ oro. Dalam bidang militer, Machiavelli menulis The Art of war ( Seni Berperang). Buku ini merupakan hasil keikutsertaannya dalam perkumpulan  Orti Oricellari (Perkumpulan para filsuf pengamat politik). Buku ini banyak dijiplak dan sangat populer sampai abad XVI. Penulisan buku ini berdasarkan hasil permenungan mendalam tentang sejarah Italia yang tak berdaya menghadapi serangan Perancis pada tahun 1494.[12]
Buku History of  Florence   (Sejarah Florence) ditulisnya berdasarkan permintaan keluarga Medici yaitu Paus Clement VII. Dua karya tulisnya dalam bidang filsafat yang sangat terkenal sampai dengan sekarang ini ialah Discourses      (Percakapan) yang merupakan komentar terhadap sepuluh buku pertama Livy’s history of Roma ( Sejarah Roma yang ditulis oleh Livius). Buku ini dipertsembahkan kepada Rucellai yang berjasa memprakarsai pertemuan kelompok Orti Oricellari dan kepada Buondelmonti, salah seorang konspirator tahun 1522. Buku keduanya adalah Il Principe ( Sang Penguasa) yang menjadi dasar pembahasan filsafat politik Machiavelli. Buku ini merupakan kado persembahan kepada Lorenzo de’ Medici.[13]

2.3.   Gambaran Umum Filsafat Niccolo Machiavell
Machiavelli dikenal sebagai tokoh dan sekaligus pendiri filsafat politik modern. Dikatakan sebagai pendiri filsafat politik modern karena Machiavelli bertolak dari sesuatu yang baru, modern, yang belum pernah ada sebelumnya. Buku Il Principe yang menjadi karya termasyurnya merupakan lambang revolusi pandangan filsafatnya yang bertitik tolak pada realitas kehidupan politik dalam konteks principalities (kepangeranan) di wilayah Toscana, Italia. Hal inilah yang membedakan pemikirannya dengan para pendahulunya seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles yang bertitik tolak dari apa yang ideal. [14]  Pemikiran filosofis Machiavelli mencakup beberapa bidang seperti negara, hukum, kekuasaan, politik dan moralitas, dan agama.

2.3.1.      Negara
Filsafat politik Machiavelli berangkat dari desakan keadaan yang menuntut pemikiran dan tindakan praktis serta konkrit. Bila kita menyimak pemikiran-pemikiran Machiavelli secara menyeluruh, jelas terlihat bahwa negara menduduki tempat yang istimewa dalam pemikiran politiknya. Ketidakcakapan dan kelemahan penguasa mengakibatkan negara terpecah belah dan menimbulkan anarki. Melalui nasihat-nasihat praktisnya, ia ingin membentuk dan melahirkan penguasa-penguasa yang cakap dan kuat agar negara utuh dan jaya. Menurutnya, adanya penguasa adalah untuk dan demi negara. Sedangkan negara itu ada demi kepentingan dirinya sendiri. Negara harus diberi priorotas pertama dalam benak dan dalam gerak tindak seorang penguasa. Setiap pertimbangan dan kebijakan yang ditempuh oleh penguasa haruslah berdasar pada kepentingan negara.[15]
Dalam menjelaskan tentang negara, Machiavelli menjelaskan tentang awal terbentuknya negara. Ia  mengatakan:

Terciptanya suatu negara pertama-tama adalah timbulnya kesadaran manusia untuk mempertahankan diri dan memperoleh rasa aman dalam hidup. Pada permulaan dunia, ketika manusia masih sedikit, mereka hidup bertebaran seperti binatang. Ketika jumlah mereka bertambah banyak, mereka berkumpul bersama dan mencari di antara mereka seorang yang kuat dan berani untuk  menjadi pemimpin bagi manusia lainnya. Dari sinilah mulai berkembangnya pengetahuan tentang hal yang baik dan yang jahat. Menyadari bahwa ada kebaikan dan kejahatan, maka manusia membuat hukum-hukum untuk menjauhkan perbuatan jahat serta merancang hukuman bagi yang melanggar hukum. Dengan demikian munculah kesadaran manusia akan keadilan. Dengan adanya kesadaran akan keadilan, maka ketika manusia memilih seorang pemimpin, mereka tidak lagi mencari sosok yang paling kuat dan berani, tetapi mereka akan memilih orang yang paling bijak dan paling adil.[16]


 Tentang bentuk-bentuk negara, Machiavelli mengatakan terdapat dua bentuk negara yang paling penting, yaitu republik dan monarki. Selain kedua bentuk negara tersebut, Machiavelli juga mengenal bentuk-bentuk negara yang lain. Pengetahuannya tentang bentuk-bentuk negara tidak terlepas dari pengaruh pandangan para filsuf dan pemikir  jaman sebelum kelahirannya, seperti Plato dan Aristoteles. Plato mengemukakan bahwa terdapat lima bentuk negara, yaitu aristokrasi, timokrasi, demokrasi dan tirani. Sedangkan Aristoteles mengemukakan enam bentuk negara. Tiga bentuk negara yang baik adalah monarki, aristokrasi, dan politeia (Republik), sedangkan tiga bentuk negara yang buruk adalah tirani, oligarki, dan demokrasi. [17]  
Semua ajaran tentang bentuk-bentuk negara tersebut di atas, sesungguhnya tidak  asing bagi Machiavelli. Pengetahuannya tersebut diungkapkannya dalam bukunya yang berjudul Discursus. Ia menulis:

…izinkan saya mengatakan bahwa orang-orang yang telah menulis tentang republik menyatakan bahwa terdapat tiga jenis pemerintahan yang mereka sebut monarki, aristokrasi dan demokrasi. Mereka yang mengorganisasi pemerintahan cenderung memilih salah satu yang dirasa tepat bagi mereka. Sementara beberapa penulis lain dan manusia-manusia yang lebih bijak mengatakan bahwa terdapat enam jenis pemerintahan di dunia. Tiga diantaranya sangat buruk dan tiga yang lainnya dalam dirinya sendiri baik, tapi sangat mudah korup sehingga mereka dapat menjadi jahat. Tiga bentuk negara yang buruk bergantung pada tiga bentuk negara yang baik. Dengan satu cara tertentu, mereka dengan mudah dapat melompat dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Monarki dapat dengan mudah menjadi tirani, aristokrasi dapat dengan mudah memproduksi sebuah oligarki, dan demokrasi dapat berubah menjadi anarki. [18]


Setelah melihat dan membandingkan penggolongan bentuk negara serta menguji hakikat dari setiap bentuk negara yang ada, maka Machiavelli berpendapat bahwa dari semua bentuk negara yang ada, hanya ada dua bentuk negara, yakni republik  dan monarki. Hakikat dari kedua bentuk negara ini telah berlangsung lama.
Berbicara tentang tujuan negara, Machiavelli berbeda pendapat dengan para pemikir politik sebelumnya. Mereka pada umumnya berpendapat bahwa tujuan negara adalah keadilan, kebajikan, kebebasan, kesempurnaan hidup dan demi kemuliaan Allah. Tujuan negara menurut Machiavelli adalah untuk pertahanan diri. Sebab menurutnya semua tujuan warga negara selalu identik dengan tujuan negara.[19]

2.3.2.      Hukum
2.3.2.1. Hukum Dalam Discoursus
Gagasan hukum  yang disampaikan Machiavelli bertitik tolak dari realitas negara Italia yang sedang berada dalam kondisi yang sangat buruk, penuh kekacauan, kelicikan, kekejaman dan ketidakadilan. Untuk mengatasi keadaan yang demikian, Machiavelli sependapat dengan Plato dalam hal hubungan penguasa dengan hukum. Plato mengatakan bahwa seorang penguasa tidak diikat dan dibelenggu oleh hukum dan undang-undang. Mengikuti jalan pemikiran Plato, Machiavelli mengatakan bahwa demi kepentingan negara, sang penguasa boleh bertindak di luar hukum. Hukum dibuat oleh manusia atas desakan kebutuhan dan hukum itu tidak mutlak. Hukum yang baik harus mengabdi kepada negara dan harus sanggup melanggengkan negara.[20]
Machiavelli juga melihat bahwa hukum sangat penting bagi suatu negara. Hukum dikatakan penting karena memiliki daya ikat yng mampu membatasi pergerakan manusia. Machiavelli berasumsi bahwa pada dasarnya manusia adalah jahat dan oleh karena itu harus ada hukum. Hukum membuat manusia menjadi baik. Ia mengatakan:

Setiap orang yang mengorganisir suatu negara dan menyusun undang-undang harus berasumsi bahwa semua manusia adalah jahat dan akan selalu melakukan kejahatan ketika ada kesempatan untuk melakukannya. … Seperti kemiskinan dan kelaparan membuat manusia rajin, demikian juga hukum membuat manusia menjadi baik.[21]

Meski ia berkata bahwa seorang penguasa boleh bertindak di luar hukum, tetapi sesungguhnya Machiavelli tidak menyepelekan hukum. Pernyataan bahwa penguasa boleh bertindak di luar hukum dikarenakan oleh realitas kekacauan yang menuntut penguasa harus bertindak demi menyelamatkan negaranya. Bagi Machiavelli, hukum harus ditampilkan untuk menghadapi kejahatan yang dapat mengganggu ketertiban dan keutuhan negara.

2.3.2.2. Hukum Dalam Il Principe
Machivelli berpendapat bahwa suatu negara harus dibangun di atas dua dasar yang kuat sehingga negara tersebut dapat stabil. Dasar stabilitas kekuasaan negara adalah hukum yang baik dan angkatan bersenjata yang handal. Ia mengatakan:

Dasar setiap negara, entah negara baru maupun negara lama atau negara campuran, ialah hukum dan pasukan yang baik. Dan karena orang tidak dapat mempunyai hukum yang baik tanpa angkatan perang yang baik, dan setiap pasukan yang baik pasti diikuti dengan hukum yang baik, maka saya tidak akan membahas hukum, tapi lebih memusatkan perhatian pada angkatan perang[22].


Kutipan di atas mempertegas bahwa Machiavelli menghendaki berdirinya suatu negara di atas landasan hukum dan militer yang menjadi wujud kekuatan dan kekuasaan secara fisik. Oleh karena ia menempatkan hukum dan kekuasaan secara bersama selaku penopang negara, maka ada beberapa ahli berpendapat bahwa Machiavelli memandang hukum dan kekuasaan itu sama. Namun bila disimak dengan cermat ungkapan di atas, jelas tampak superioritas kekuasaan terhadap hukum. Hukum bahkan bergantung pada kekuasaan. Militer yang baik merupakan syarat bagi hukum yang baik.[23] Pernyataan bahwa hukum tidak sama dengan kekuasaan dan kekuasaan lebih unggul dari hukum, tampak jelas dalam tulisan Machiavelli:

Anda tentu tahu bahwa ada dua cara untuk berjuang, yang satu lewat hukum dan yang lain lewat kekuasaan atau kekuatan. Cara pertama digunakan oleh manusia, sedang cara kedua digunakan  oleh hewan. Tetapi karena cara yang pertama seringkali tak memadai, maka harus ditempuh cara kedua.[24]



Pernyataan Machiavelli di atas hendak menjelaskan bahwa dalam keadaan negara yang kacau, hukum tidak mampu mengatasi kekacauan. Dalam situasi demikian, sang penguasa berhak menggunakan kekuasaannya untuk mengatasi kekacauan dan mengamankan negara dari perpecahan.


2.3.3.      Kekuasaan
Para filsuf abad pertengahan pada umumnya mengaitkan kekuasaan dengan kebaikan, kebajikan, keadilan, dn kebebasan. Para pemikir religius mengaitkan kekuasaan dengan Tuhan. Bagi mereka sekalian, kekuasaan politik hanya sebagai alat untuk mengabdi tujuan negara yang dianggap mulia, yakni kebaikan , kebajikan, keadilan, kebebasan  yang berlandaskan kehendak Tuhan dan untuk kemuliaan Tuhan.
 Machiavelli tidak sependapat dengan para filsuf  dan pemikir religius yang membelenggu dan membatasi kekuasaan dengan kebaikan, kebajikan, keadilan, kebebasan, etika, budaya dan religi. Menurutnya, kekuasaan bukan alat yang mengabdi kepada kebaikan, kebajikan,  keadilan,  kebebasan dan Tuhan, tetapi alat yang harus mengabdi kepada kepentingan negara itu sendiri. Kekuasaan harus digunakan oleh sang penguasa untuk menyelamatkan kehidupan negara dan mempertahankan kemerdekaannya. Dalam keadaan tertentu, kekuasaan harus dibebaskan dan dilepaskan dari kebaikan, kebajikan, keadilan, kebebasan, dan Tuhan.[25]
Machiavelli menegaskan bahwa tidak ada kaitan atau relevansi antara kekuasaan dengan teologi Kristen, kecuali sejauh agama atau moral itu memiliki nilai utilitarianisme bagi kekuasaan dan negara. Ia menyangkal asumsi bahwa kekuasaan adalah alat atau instrumen belaka untuk mempertahankan nilai-nilai moralitas, etika atau agama. Baginya, segala kebajikan, agama, moralitas justru harus dijadikan alat untuk memperoleh dan memperbesar kekuasaan. Jadi kekuasaan haruslah diperoleh, digunakan, dan dipertahankan semata-mata demi kekuasaan itu sendiri. Dengan pandangannya itu, Machiavelli menolak tegas doktrin Aquinas tentang gambaran penguasa yang baik. Aquinas dalam karyanya The Government of Princes berpendapat bahwa penguasa yang baik harus menghindari godaan kejayaan dan kekayaan-kekayaan duniawi agar memperoleh ganjaran surgawi kelak. Bagi Machiavelli, penguasa yang baik harus berusaha mengejar kekayaan dan kejayaan, karena keduanya merupakan nasib mujur yang dimiliki seorang penguasa.[26]
Adanya perbedaan konsep dengan pemikir sebelumnya, Machiavelli disebut sebagai pelopor yang memberi tempat dalam pemikiran filsafatnya untuk berbicara tentang kekuasaan manusia. Manusia menjadi pusat realitas, prinsip induk, manusia sebagai subyek, dan manusia sebagai pemegang kekuasaan sekuler.[27]

2.3.4.      Politik dan Moralitas
Filsafat politik Machiavelli bertolak dari desakan keadaan dan tuntutan situasi khaos, sehingga menimbulkan kemungkinan besar suatu ketidakstabilan kekuasaan. Maka tujuan utama berpolitik adalah mengamankan kekuasaan yang ada pada tangan seorang penguasa. Persoalan kekuasaan yang diutamakan bukan soal legitimasi moral, tetapi bagaimana kekuasaan yang tidak stabil itu menjadi stabil dan lestari. Machiavelli secara tegas membuat pemisahan antara politik dan moralitas. Menurutnya, politik dan moralitas merupakan dua bidang yang terpisah. Dalam urusan politik, tidak  ada tempat untuk membicarakan masalah moral.[28]
Pemisahan tegas antara prinsip moral, etika dan prinsip ketatanegaraan didasarkan pada adanya perbedaan antara ketiganya. Moral dan tata susila merupakan suatu kemungkinan yang diharapkan, sedangkan ketatanegaraan adalah kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Suatu kenyataan harus dibedakan dari suatu kemungkinan yang diharapkan. Karena itu, bidang politik tidak perlu memperhatikan bidang moral, karena tujuan politik jauh lebih nyata dari tujuan moral. Machiavelli menegaskan bahwa jka ingin mempertahankan kesatuan dan kedamaian, maka negara harus mengejar tujuan-tujuan nyatanya.[29]
 Pemisahan etika dan nilai moral dari politik tidak berarti bahwa Machiavelli mengesampingkan atau menempatkan etika dan moral pada posisi yang lebih rendah atau tidak dibutuhkan manusia. Machiavelli justru hendak menunjukkan bahwa pemisahan politik dari etika menempatkan kedua-duanya menjadi independen, mandiri dan tidak saling bergantung. Meski membuat pemisahan politik dan nilai moral, Machiavelli mengatakan bahwa tindakan para penguasa yang bersifat kriminal, amoral, licik dan jahat hanya dapat dibenarkan dalam keadaan darurat dan demi kepentingan negara semata-mata. Kejahatan tidak boleh menjadi tujuan dari segala tindakan dan perbuatan para penguasa.[30] 


2.3.5.      Agama
Abad pertengahan merupakan jaman dimana negara berada di bawah dominasi kekuasaan rohani gereja Katolik. Segala bentuk kekuasaan, hukum, undang-undang, serta pranata-pranata sosial masyarakat dikaitkan dengan Tuhan. Tuhan menjadi sumber dan pusat segala kegiatan manusia. Model kekuasaan ini mulai mengalami krisis ketika manusia mulai menyadari dirinya sebagai makhluk yang bebas. Awal kesadaran manusia inilah yang disebut sebagai pencerahan atau jaman Renaissance. Jaman Renaisaance memunculkan para tokoh dan filsuf besar yang berjuang melawan dominasi agama.
Salah satu tokoh Renaissance yang terkenal adalah Machiavelli. Ia mempersoalkan tentang kekuasaan gereja yang sangat mendominasi negara. Ide pokok pemikirannya adalah negara jangan sampai dikuasai oleh agama, sebaliknya negara harus mendominasi agama. Menurutnya, agama dapat mendukung patriotisme dan memperkuat pranata-pranata kebudayaan. Konsep ini dibuatnya berdasarkan pemahamannya tentang agama Romawi kuno, bukan berdasarkan realitas kekristenan pada masanya. Menurutnya, agama Romawi kuno lebih bersifat integratif dibandingkan agama Kristen. Agama Romawi kuno berhasil mempersatukan negara, membina loyalitas, dan kepatuhan rakyat terhadap otoritas penguasa Romawi.[31]
Gagasan pragmatis Machiavelli tidak hendak mengatakan bahwa ia seorang ateis. Hal yang ia persoalkan dalam agama bukanlah ada tidaknya Tuhan, tetapi fungsi agama dalam kehidupan masyarakat dan politik. Dengan adanya gagasan yang demikian, sebetulnya Machiavelli berhasil memperlihatkan bahwa agama tidak sekeramat yang disangka orang. Agama hanyalah salah satu pranata dalam kehidupan bermasyarakat yang bisa difungsikan. Menurutnya, penguasa yang cakap adalah dia yang mampu melihat agama sebagai suatu kekuatan yang bisa digunakan untuk memperkuat negara atau melayani kepentingan negara.[32]
Dalam melihat fungsi dan peran agama, Machiavelli memberikan kritik terhadap cara hidup kaum klerus dan kekristenan. Ia mengkritik kekristenan yang terlalu menyanjung dan memuliakan orang-orang yang sederhana dan yang senang berkontemplasi dari pada orang yang suka bertindak. Kekristenan terlalu mengidealkan kelembutan dan kerendahan hati dan amat meremehkan hal-hal duniawi.  Kekristenan juga ikut membentuk sikap egois masyarakat, sehingga masyarakat mengabaikan negara sebagai persekutuan politik dan lebih mementingkan kepuasan rohani secara pribadi. Gereja dan pemimpin agama yang seharusnya mengajarkan nilai kebaikan dan moralitas, justru menjadi penyebab kemerosotan moral dan iman yang pada akhirnya menghancurkan Italia.[33]
 Dalam situasi kekacauan serta kemerosotan moral masyarakat, Machiavelli menganjurkan kepada kekristenan dan kaum klerus untuk kembali menghidupkan prinsip dan nilai awali, sehingga kekristenan dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Para pemimpin Gereja yang telah menyimpang dari prinsip dasar kekristenan dihimbau untuk menghidupi kembali prinsip-prinsip yang telah diletakkan oleh pendiri. Jika kekristenan dan kaum klerus dapat hidup sesuai dengan semangat awali, maka dengan sendirinya negara dan masyarakat akan menjadi beradab. Agama dikatakan memiliki kekuatan, karena dalam agama terdapat nilai politis yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan negara. Nilai politis agama yang dimaksudkan Machiavelli antara lain adalah: agama dapat membentuk moralitas masyarakat, agama  mampu mempersatukan masyarakat, agama dapat dijadikan sebagai alat bagi penguasa untuk mencapai kekuasaan, serta memudahkan suatu Negara . Berdasarkan sejarah Romawi kuno, agama dapat membangkitkan keberanian tentara.[34]

2.4.    Latar Belakang Pemikiran Machiavelli Tentang Nilai Politis Agama 
Sebagai seorang tokoh humanis sejati, Machiavelli mempelajari dan mengagumi sejarah serta karya manusia, termasuk agama pada zaman purba. Bagi Machiavelli, agama merupakan salah satu karya manusia yang patut mendapat pujian tertinggi.[35] Dalam Discoursus, Machiavelli menulis:

Di antara orang-orang yang pantas dipuji, yang paling pantas dipuji adalah para pemimpin dan pendiri agama-agama”.[36]
                                                                           

Dalam menguraikan pendapatnya tentang politik agama, Machiavelli terispirasi oleh sejarah kerajaan Romawi kuno serta oleh berbagai situasi yang terjadi di sekitarnya. Berikut ini penulis memaparkan faktor-faktor yang melatar belakangi pemikiran Machiavelli tentang nilai politis agama.


2.4.1.      Konteks Historis Agama Romawi Kuno
Titik tolak gagasan Machiavelli tentang politik agama adalah sejarah kerajaan dan agama Romawi kuno. Machiavelli banyak membaca buku-kuku klasik karya Cicero, seperti Phillipus, On Moral Obligation dan The making of an Orator, serta membaca History Of Florence karya Livius.[37] Berdasarkan pengetahuan sejarah kerajaan Romawi serta agama kuno tersebut, Machiavelli berpendapat bahwa dalam agama terdapat nilai-nilai yang berguna bagi terciptanya suatu keadaan negara yang aman, tertib, damai, bersatu, dan kuat. Pendapat tersebut mengacu pada agama Romawi kuno yang dipakai oleh Numa Pompilius[38] dalam menata kota dan masyarakat Romawi.
Machiavelli mengagumi Numa sebagai seorang pemimpin yang jenius, karena ia mampu menggunakan cara baru yang sebelumnya tidak pernah dipakai oleh Romulus. Numa melihat realitas masyarakat Romawi yang tidak disiplin, tidak patuh pada hukum, dan tidak ada penghormatan terhadap tempat-tempat ibadah. Realitas yang demikian menginspirasikan Numa untuk membawa masyarakat kepada ketaatan sipil dengan cara damai. Cara damai yang dimaksudkan adalah dengan menggunakan agama sebagai salah satu institusi yang ada dalam masyarakat. Numa berhasil membentuk masyarakat yang pada awalnya sangat tidak disiplin menjadi disiplin dan taat. Ia berhasil membentuk sikap masyarakat untuk lebih menghormati tempat-tempat ibadah serta mengajari mereka untuk setia pada sumpah kepada dewa.[39]
Berkat kepemimpinan Numa Pompilius, kerajaan Romawi dapat hidup aman, damai, kuat, bersatu dalam waktu yang sangat lama. Numa berhasil menemukan permasalahan yang sebelumnya tidak diperhatikan oleh Romulus, yakni kemerosotan moral dan ketidakdisiplinan masyarakat yang disebabkan oleh tidak adanya penghormatan dan penghargaan terhadap nilai-nilai serta upacara dan tempat-tempat peribadatan agama. Agama yang sebelumnya tidak dihargai menjadi suatu kekuatan baru dalam tangan Numa. Ia membuat agama berperan besar dalam memimpin angkatan bersenjata, menyemangati rakyat, membuat orang-orang tetap baik, dan mempermalukan orang-orang jahat.[40]
Agama kuno Romawi dalam pandangan Machiavelli memiliki esensi yang kuat. Esensi agama kuno terletak dalam respons masyarakat terhadap titah ilahi dan sekumpulan nabi atau peramal. Oleh sebab itu, penting bagi seorang pemimpin agama atau nabi memberikan teladan hidup yang baik, demi terciptanya masyarakat yang disiplin, teratur, dan patuh. Machiavelli membuat kesimpulan bahwa jika seluruh masyarakat taat pada pengajaran agama dan ritus keagamaan, maka akan membawa kejayaan bagi negara. Tetapi bila masyarakat meremehkan praktek-praktek keagamaan serta tidak mengindahkan pengajarannya, maka keruntuhan negara tidak terelakkan. Hal demikian menurut Machiavelli sedang dialami oleh masyarakat Italia pada jamannya[41]

2.4.2.      Konteks Sosial Keagamaan
Setelah menjelaskan tentang kekaisaran Romawi kuno dan agama yang berperan di dalamnya, kini Machiavelli berhadapan dengan realitas kemerosotan moral dan keagamaan Italia pada umumnya. Menurutnya, faktor pertama penyebab kemerosotan moral ialah skandal-skandal moral yang dilakukan oleh pangeran-pangeran gereja yang menyebabkan disintegrasi moral publik.[42] Dalam Discoursus ia menulis:

Tidak ada alasan lain atas penjelasan yang lebih baik terhadap kemerosotan moral, selain melihat bagaimana orang-orang yang lebih dekat dengan Gereja Roma yakni para pemimpin agama kita, ternyata kurang religius”.[43]

Machiavelli juga mempersoalkan interpretasi agama tentang semangat dan penghayatan kekristenan. Menurutnya, semangat dan penghayatan yang diajarkan oleh kekristenan adalah keliru. Ketika itu agama Kristen ditafsirkan sebagai agama bagi manusia yang lembut dan rendah hati serta yang cinta akan pengurbanan. Machiavelli menghendaki reformasi di bidang keagamaan yang menunjang perkembangan patriotisme. Reformasi yang dikehendakinya adalah usaha reinterpretasi tentang semangat kekristenan secara baru, yakni agama yang  aktif dan peka terhadap realitas, agar dari sana terhembus suatu kekuatan, sehingga membangkitkan semangat masyarakat dan menyelamatkan mereka dari dekadensi moral.[44]

2.4.3.   Konteks Sosial Politik
Machiavelli hidup pada era yang penuh pergolakan dalam politik Italia. Florence sebagai negara tempat Machiavelli dilahirkan juga mengalami goncangan politik yang hebat. Kehidupan politik Florence diwarnai oleh rangkaian perubahan hukum, konstitusi dan undang-undang. Bentuk negaranya pun berubah-ubah dari tirani, oligarki, demokrasi dan kembali ke oligarki.[45]
Perpecahan yang terjadi dalam negara-negara kota di Italia serta kesulitan dan kecemburuan menyebabkan timbulnya perang yang terus terjadi. Akibatnya adalah kekerasan semakin meluas, terjadi pengkhianatan dalam jabatan publik, konspirasi dan pembunuhan. Anarki kekuasaan pun terjadi, dimana rakyat tidak mengakui sepenuhnya kepemimpinan sang penguasa. Situasi kekacauan yang demikian mempengaruhi mentalitas dan moralitas masyarakat Italia pada titik paling rendah, karena antara individu dan negara bersaing meraih kekuasaan.[46]  
Realitas politik dan masyarakat yang demikian menggugah Machiavelli untuk membantu negaranya dalam menemukan solusi terbaik. Kegemaran mempelajari karya-karya klasik serta sejarah dan agama Romawi kuno memampukan Machiavelli untuk menyumbangkan gagasan pemikirannya dalam menanggapi realitas kekacauan Italia pada umumnya. Machiavelli menawarkan kepada para penguasa untuk menggunakan agama sebagai institusi yang mampu mempersatukan, membuat patuh, dan membentuk moralitas masyarakat. Gagasan ini bersumber pada sejarah kesuksesan Numa dalam mempersatukan bangsa Romawi yang terpecah belah. Numa yang menggantikan Romulus menemukan bahwa Masyarakat Romawi sangat tidak disiplin. Ia ingin membawa mereka pada ketaatan sipil secara damai dengan cara pendekatan agama.[47] Demikian juga Machiavelli menghendaki terbentuknya negara Italia yang kuat, bersatu dan tidak bergantung pada kekuatan negara lain.



[1] ST.Sularto, Niccolo Machiavelli, Penguasa Arsitek Masyarakat, Jakarta: Kompas, 2003, hlm. 7.
[2] G.H. Sabine, Teori-Teori Politik (2), Bandung: Bina Cipta, 1981, hlm. 5
[3] Ahmad Suhelmi, Pemikiran politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan kekuasaan, Jakarta: Gramedia, 2001, hlm. 126.
[4] Ibid, hlm. 127.
[5] ST.Sularto, Op.Cit., hlm. 8
[6] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, Jakarta: Gramedia, 1987, hlm. Xxiv-xxv.
[7] Ibid, hlm. Xxiv-xxv.
[8] Dr. J.H. Rapar,Th.D., Ph.D, Filsafat Politik Machiavelli, Jakarta: Rajawali,1991, hlm. 17-18
[9] Ibid, hlm. 19.
[10] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, Op. Cit., hlm. 49.
[11] Dr. J.H. Rapar,Th.D., Ph.D, Op. Cit., hlm. 19.
[12] Quentin Skinner, Dilema Kekuasaan dan Moralitas, Jakarta: Grafiti, hlm. 75
[13] Ibid, hlm. 20.
[14] Prof. DR. Eko Armada Riyanto. Filsafat Etika Politik, Diskursus Konteks Indonesia, Malang: STFT, 2007, hlm. 47
[15] Dr. J.H. Rapar,Th.D., Ph.D, Op. Cit., hlm.39
[16] Noccolo Machiavelli, Discoursus, Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003, hlm.13
[17] Dr. J.H. Rapar,Th.D., Ph.D, Op. Cit., hlm. 33-38.
[18] Noccolo Machiavelli, Discoursus,  Op.Cit, hlm.12
[19] Dr. J.H. Rapar,Th.D., Ph.D, Op. Cit., hlm.36
[20] Ibid, hlm. 43
[21] Noccolo Machiavelli, Discoursus,  Op.Cit, hlm. 18
[22] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, Op. Cit,. hlm. 49
[23] Dr. J.H. Rapar,Th.D., Ph.D, Op. Cit., hlm. 48
[24] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, Op. Cit,. hlm.67
[25] Dr. J.H. Rapar,Th.D., Ph.D, Op. Cit., hlm. 51-52.
[27] Miriam Budiardjo (Penyusun), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar  Harapan, 1984, hlm. 16.
[28] Niccolo Machiavelli, Sang penguasa, Op. Cit., hlm. xxxi-xxxii
[29] Ibid.  
[30] Dr. J.H. Rapar,Th.D., Ph.D, Op. Cit., hlm. 106.
[31] Dr. firdaus Syam, M.A, Pemikiran Politik Barat, Jakarta: Bumu Aksara, 2007, hlm. 107
[32] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia, 2004, hlm. 17-18
[33] Dr. J.H. Rapar,Th.D., Ph.D, Op. Cit., hlm. 98
[34] Ibid
[35]  Ibid, hlm. 95
[36] Noccolo Machiavelli, Discoursus, Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003, hlm. 44.
[37] G.H. Sabine, Op.Cit. hlm. 5
[38] Raja kedua kerajaan Romawi setelah Romulus. Ia mendirikan banyak kuil dan membentuk  institusi agama seperti institusi Jupiter, Mars, dan Quirinus. Ia mereformasikan kalender dengan memperkenalkan bulan Januari dan Februari. Ia melarang rakyatnya menggambar rupa dewa dalam bentuk manusia atau hewan. Menurutnya dewa tak bisa digambarkan dengan sesuatu yang pada akhirnya akan musnah. Numa meninggal pada tahun 673 SM dan digantikan oleh Tullus Hostilius.
[39] Noccolo Machiavelli, Discoursus, Op.Cit, hlm. 49
[40] Ibid
[41] Ibid, hlm. 50.
[42] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, Op. Cit., hlm. xxxvii
[43] Ibid, hlm. 55.
[44] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, Op. Cit., hlm. xxxvi.
[45] Dr. J.H. Rapar,Th.D., Ph.D, Op. Cit., hlm.11.
[46] Henry J. Schmandt, A History of Political Philosophy, USA: BPC, 2002, hlm. 250.
[47] Noccolo Machiavelli, Discoursus, Op. Cit., hlm.49