Selasa, 16 November 2010

KONSEP AGAMA MENURUT NICCOLO MACHIAVELLI

1. Pendahuluan
            Niccolo Machiavelli adalah seorang filsuf besar dalam ranah peradaban filsafat modern. Namanya menjadi simbol sebuah pengertian tentang pemakaian kekuasaan negara yang membenarkan pemerintahan penguasa dengan tangan besi dan menolak pertimbangan moral dalam berpolitik.[1] Istilah “Machiavellisme[2]” yang kita kenal saat ini merupakan sebuah terminologi yang diajukan oleh para filsuf yang tidak menerima konsep pemikiran Machiavelli. Istilah ini merupakan suatu ungkapan yang mengarah kepada hal-hal negatif dalam dunia perpolitikan. Akan tetapi, setelah mendalami gagasannya, kita lalu mulai mengakui bahwa Machiavelli adalah nama seorang genius yang sangat besar peranannya dalam sejarah.[3]
            Dalam paper ini, penulis membahas tentang siapakah Machiavelli, faktor apa saja yang melatarbelakangi pemikirannya, bagaimana pemikirannya tentang agama, serta melihat relevansi pemikirannya dalam dunia perpolitikan bangsa Indonesia.

1.1. Riwayat Singkat Machiavelli
            Machiavelli lahir di kota Firenze pada tanggal 3 Mei 1469 di Florence, ketika Lorenzo Agung baru beberapa bulan naik tahta menggantikan ayahnya. Ayahnya Bernardo adalah seorang ahli hukum yang berasal dari keluarga bangsawan. Meski Machiavelli berasal dari keluarga bangsawan, namun mereka tidak sekaya bangsawan lainnya. Kehidupan pribadi Machiavelli tidak banyak diketahui, masa mudanya, pendidikan dan sebagainya. Namun dari berbagai jabatan yang dipercayakan kepadanya dan dari kecakapan dalam melaksanakan tugas-tugas jabatannya, serta lewat hasil karya tulisnya, dapat diambil kesimpulan bahwa Machiavelli diperlengkapi dengan pendidikan yang terbaik saat itu.[4] 
Ketika berusia 25 tahun, kemampuannya menarik perhatian Gonfalonier Piero Soderini, pimpinan pemerintahan Firenze (1498-1512). Ia masuk dalam kelompok konselir yang terdiri atas 10 orang yang memiliki sejumlah kekuasan diplomasi dan perang. Contoh-contoh dari pengalaman dan peristiwa sejarah ini dipakai untuk menerangkan teori-teori politiknya. Machiavelli ingin memperjelas dan mempertajam analisis lewat contoh-contoh dan karakter penguasa.[5]

1.2. Latar Belakang Pemikiran Machiavelli
Machiavelli selain sebagai seorang pemikir, juga dikenal sebagai seorang humanis. Dalam periode hidupnya, metode kerja gerakan humanis pada waktu itu adalah menoleh ke masa silam untuk melontarkan pandangan ke depan. Oleh sebab itu, semua gagasannya tentang agama selalu bertitik tolak pada sejarah masa lalu. Ia lahir dan hidup dalam tradisi kekuasaan yang sudah mengalami pendobrakan atas legitimasi religius. Wajah raja yang bertahun-tahun digambarkan sebagai tremendum et fescinosum (yang menakutkan dan menggetarkan) berubah menjadi sosok seorang manusia biasa. Machiavelli mewarisi paham kekuasaan dari tradisi agama Yahudi-Kristen yang menolak identifikasi pengaruh dari wilayah Ilahi dan menempatkannya dalam tata tertib kehidupan manusia biasa. Machiavelli juga dipengaruhi oleh kekuasaan Yunani yang mengalami pendobrakan atas legitimasi religius.[6]

2. Pemikiran Machiavelli tentang Agama
Sebagai seorang politikus dan tokoh humanis sejati, Machiavelli mempelajari dan mengagumi sejarah serta karya manusia. Ia juga berminat pada agama, teristimewa agama Romawi kuno yang mengendalikan kehidupan masyarakat dan memberi inspirasi bagi pasukan tentara Romawi. Menurutnya, agama merupakan salah satu karya manusia yang patut mendapat pujian tertinggi. Hal ini dikatakannya dalam Discorsi, “ Di antara orang-orang yang pantas dipuji, yang paling pantas dipuji adalah para pemimpin dan pendiri agama-agama”.[7]



2.1. Nilai Politis Agama  
Menurut Machiavelli, agama bukan hanya penting bagi masyarakat sipil, tetapi juga bagi militer. Nilai politis agama yang paling penting ialah bahwa agama dapat membangun dan membentuk sikap manusia menjadi tulus, taat, setia, patuh dan bersatu. Kenyataannya memang agama dapat menjadi alat bantu bagi penguasa, karena agama memiliki kekuatan yang sanggup membuat manusia menjadi taat secara tulus, setia, patuh dan bersatu. Sikap-sikap ini perlu untuk suksesnya seorang yang berkuasa, oleh sebab itu agama diperlukan. Jadi agama itu diperlukan sebagai alat kepatuhan, bukan karena nilai-nilai yang dikandung agama.[8]
Berbeda dengan para teolog abad pertengahan seperti Agustinus dan Thomas Aquinas yang melihat agama dari sudut pandang teologi atau filsafat, Machiavelli melihat agama dari sudut pandang pragmatisme dan kepentingan politik praktis. Menurut Machiavelli, agama memiliki makna bila berguna bagi kepentingan politik kekuasaan. Tidak penting bagi Machiavelli apakah dari segi doktrin dan ajaran agama itu benar atau salah. Machiavelli juga tidak tertarik dengan masalah kebenaran suatu agama, asal mula agama, dan apakah bersumber dari wahyu Tuhan atau kreasi manusia semata. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa sejauh agama itu bermanfaat bagi kepentingan poltik dan kekuasaan, agama tersebut harus dipertahankan dan didukung.[9]

2.2. Fungsi dan Peran Agama
Dalam menjelaskan fungsi dan peran agama, Machiavelli belajar dari sejarah purba dan berititk tolak dari fakta-fakta kontemporer. Ia menarik kesimpulan bahwa negara menjadi besar dam jaya karena memelihara institusi-institusi agamis. Negara yang runtuh karena tidak memperdulikan agama. Hal ini disebabkan karena agama memiliki nilai-nilai politis yang sangat penting dan amat berharga. Oleh karena agama memiliki nilai politis yang sangat penting dan berharga, maka agama harus berfungsi dan berperan dalam kehidupan politik. Agama yang tak berfungsi dan berperan dalam kehidupan politik adalah hampa dan tak berguna.[10]
Fungsi agama menurut Machiavelli adalah sebagai perekat bagi kesatuan politik agar kesatuan itu benar-benar menjadi kokoh dan teguh. Kesatuan politik ini harus sungguh-sungguh kohesif agar terhindar dari berbagai perpecahan yang dapat menghancurkan negara. Sedangkan peran agama yang terpenting adalah menjadi alat kekuasaan politik. Agama harus dapat berperan sebagai alat pemersatu yang mempersatukan seluruh rakyat dalam ketaatan dan kesetian terhadap penguasa demi kejayaan negara. Agama harus menjadi alat pengaruh, alat kekuasaan dan alat pengawasan di tangan sang penguasa terhadap mereka yang dikuasai.[11]

2.3. Hubungan Negara dan Agama
Dalam menjelaskan tentang hubungan negara dan agama, Machiavelli kembali bertitik tolak pada sejarah kekaisaran Romawi kuno, dimana agama Kristen diatur oleh negara. Ia berpendapat bahwa betapa pentingnya keterlibatan agama di dalam suatu negara. Namun ia menegaskan bahwa negara tidak boleh dikuasai oleh agama, tetapi sebaliknya negara harus mendominasi agama. [12] Demi untuk mempertahankan kekuasaan negara, agama harus tunduk pada negara. Hal yang harus diutamakan oleh penguasa dalam agama bukan hukum cinta kasih dan belaskasihan. Sebab dalam panggung politik, hanya orang kuat yang tahan memerintah, sedangkan mereka yang tak berdaya harus mencari hiburan dalam bidang spiritual atau membuat rasionalisasi atas kelemahan-kelemahannya.[13]
Machiavelli tidak hendak mengatakan bahwa agama tidak penting. Dia memang menganggap ajaran moral dan dogma-dogma agama pada dirinya tidaklah begitu penting, tetapi hal yang dipandang tidak penting tersebut memiliki fungsi untuk mempersatukan negara. Bagi Machiavelli, agama memiliki segi pragmatis untuk mengintegrasikan negara. Agama dapat mendukung patriotisme dan memperkuat pranata-pranata kebudayaan.[14]


2.4. Menentang Kekristenan dan Klerikalisme
Dalam mengungkapkan pertentangannya, Machiavelli membandingkan Kekristenan dengan agama Romawi kuno. Machiavelli cenderung melihat adanya kekosongan dan kehampaan dalam Kekristenan. Penyebab kekosongan dan kehampaan tersebut adalah karena Kekristenan terlalu menyanjung dan memuliakan orang-orang yang sederhana dan yang senang berkontemplasi daripada orang-orang yang suka bertindak.
Kekristenan terlalu mengidealkan kelembutan dan kerendahan hati, cinta akan pengurbanan serta meremehkan hal-hal yang duniawi, sehingga mendorong dan merangsang manusia untuk mengejar kepuasan rohani secara pribadi yang mengakibatkan negara sebagai persekutuan politik terbengkalai, tak terurus dan terpecah belah. Sedangkan agama Romawi kuno mengagungkan dan bahkan mendewakan orang-orang yang melakukan tindakan, sehingga mereka memperoleh kemuliaan yang besar. Machiavelli berpendapat bahwa seharusnya Kekristenan dikembalikan pada prinsip dasar semula, agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya, maka negara dapat kembali bersatu dan rakyat bahagia. Harus ada reformasi di bidang keagamaan yang menunjang perkembangan patriotisme, sehingga terhembus suatu kekuatan, suatu Virtu, sehingga membangkitkan semangat masyarakat dan menyelamatkan mereka dari dekadensi moral.[15]
Gereja dan para pejabatnya dilihat sebagai penyebab kemerosotan moral dan kemerosotan iman yang menghancurkan bangsa Italia. Skandal dalam kehidupan hirarki Gereja menimbulkan situasi khaos dalam kehidupan beragama. Bagaimana mungkin patriotisme dapat berkembang, bila pemuka-pemuka agamnya memberikan teladan yang jelek. Oleh karena para pemimpin Gereja telah jauh menyimpang dari prinsip-prinsip agama Kristiani yang menyeret banyak orang untuk hidup tak beriman, maka keruntuhan dan kehancuran pun akan segera menimpa bangsa Italia.[16] Machiavelli mengatakan:

Kita orang Italia, berutang pertama-tama pada Gereja dan para pemimpinnya, karena kita telah menjadi tidak religius dan jahat. Kita juga berutang pada mereka bahkan utang yang lebih besar, yaitu keruntuhan kita. Alasan mengapa Italia tidak berada dalam kondisi di bawah pemerintahan satu republik atau satu penguasa seperti Perancis dan Spanyol adalah semata-mata karena kita berada di dalam Gereja. Karena meski Gereja memiliki kekuasaan sementara dan kedudukan yang penting di Italia, Gereja tetap tidak cukup kuat atau memiliki kemampuan untuk memerintah Italia dan mengangkat dirinya sebagai penguasa.[17] 

3. Relevansi Pemikiran Machiavelli
3.1. Agama Sebagai Alat Mencapai Kekuasaan
Sepanjang sejarah bangsa Indonesia, agama senantiasa turut mengambil bagian dalam kancah perpolitikan. Kehadiran agama dalam politik lebih terasa ketika menjelang pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Pemilihan anggota legislatif beserta pemilihan presiden dan cawapres yang baru kita rayakan merupakan contoh nyata keterlibatan agama dalam politik. Beberapa kandidat calon penguasa merupakan tokoh-tokoh agama yang memiliki reputasi dan pengaruh yang luas. Hal ini mau menegaskan kepada kita bahwa ada hubungan yang erat antara agama dan politik. Dua kemungkinan yang penulis amati dari relasi keduanya adalah: Pertama, agama memanfaatkan politik (kekuasaan) untuk mencapai tujuan kelompok agamanya, Kedua, politik memanfaatkan agama untuk memperoleh kekuasaan.
Machiavelli mengatakan bahwa agama diperlukan bukan karena nilai yang terkandung di dalamnya, tetapi sebagai alat untuk membentuk sikap patuh masyarakat terhadap pemimpin. Pemikiran ini memberi kesan merendahkan posisi agama. Dalam praktek politik di Indonesia, kita bisa menemukan fakta-fakta yang mendukung pernyataan machiavelli. Seperti  partai-partai politik yang menggunakan teks-teks, idiom-idiom, simbol-simbol, atau ajaran-ajaran agama dengan memaksakannya seolah teks-teks itu mendukung posisi politik yang telah diambil partai bersangkutan. Dalam hal ini agama menjadi kemasan, sementara isinya kepentingan politik. Maka ketika agama dijadikan sebagai alat untuk meraih kekuasaan, berarti agama sangat rentan terhadap manipulasi.[18] Jikalau demikian, dimanakah letak peran dan fungsi agama sebagai lembaga religius yang mengajarkan nilai moral dan dogma bagi manusia? Agama bukan lagi sebagai lembaga yang sakral yang berasal dari Tuhan. Tetapi agama telah dijadikan sebagai sarana pemuas hasrat manusia untuk berkuasa.

3.2. Dominasi Negara atas Agama
Dalam menggagas konsep ini, Machiavelli berangkat dari sejarah kerajaan Romawi yang menjadikan agama Kristiani sebagai agama negara. Segala hal yang berhubungan dengan agama diatur dan diawasi oleh negara. Dominasi seperti ini tidak dapat diterapkan dalam negara kesatuan Republik Indonesia, sebab Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasarkan Pancasila. Sebagai negara demokrasi, Indonesia memberikan kebebasan kepada tiap warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaan menurut keyakinannya. Oleh sebab itu, negara tidak dapat berkuasa melewati batas kekuasaan agama.

4. Penutup
Dalam memaparkan konsep agama, Machiavelli berbicara sesuai dengan realitas yang ada di negara Italia. Dia beranggapan bahwa salah satu cara merubah situasi yang serba kacau adalah melalui pendekatan agama. Seorang penguasa yang bijaksana harus pandai memanfaatkan agama demi untuk kepentingan negara, bukan untuk kedudukan dan kekuasaan.
Jika penulis membandingkan konsep pemikiran Machiavelli dengan realitas politik bangsa Indonesia, tampak ada persamaan yaitu sama-sama memanfaatkan agama. Namun tujuan yang hendak dicapai dari pemanfaatan agama tersebut berbeda. Para kandidat dan bahkan penguasa bangsa ini dengan tanpa ragu memanfaatkan agama untuk mencapai hal yang mereka peroleh, yakni kekuasaan. Oleh karena tujuan mereka demikian, maka wajarlah kalau berbagai kasus KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) masih terus langgeng dalam pemerintahan. Penekanan nilai moral adalah solusi yang mungkin bisa berguna untuk menata wajah Indonesia menjadi negara yang bermartabat.


[1] Frans Magnis Suseno, dalam Penguasa Arsitek Masyarakat, ST.Sularto, Jakarta: Kompas, 2003, hlm. Xi.
[2] Kata lain bagi sinisme kekuasaan yang membenarkan dusta, penipuan, penindasan, dan pembunuhan, asal saja mendukung stabilitas kekuasaan di tangan sang pangeran.
[3] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia, 2007, hlm.15.
[4] Dr.J.H.Rapar, Th.D., Ph. D, Filsafat Politik Machiavelli,  Jakarta: Rajawali, 1991, hlm.15.
[5] Ibid, ST.Sularto,  Jakarta: Kompas, 2003, hlm.8.
[6]Ibid, hlm. Xvii.
[7] Op.Cit. Filsafat Politik Machiavelli, hlm.95.
[8] Op.Cit. hlm. 95-97.
[9] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Jakarta: Gramedia, 2001, hlm.139
[10] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia, 2007, hlm. 17-18
[11] Ibid
[12] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia, 2007, hlm. 17-18.
[13] Niccolo Machiavelli, Il Principe, (Terj.C. Woekirsari),Jakarta: Dramedia, 1999, hlm. xxxvii
[14] Op.Cit. F. Budi Hardiman, hlm. 18.
[15] Ibid, Niccolo Machiavelli, Il Principe, , hlm.xxxii
[16] Op.Cit. Filsafat Politik Machivelli, hlm.98-99.
[17], Niccolo Machiavelli, Discourses, (Terj, Yudi Santoso dan Sovia VP), Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003, hlm. 55. 

2 komentar:

  1. bisa minta soft copy artikel kah?

    BalasHapus
  2. Saya suka ucapan Machiavelli: " Seseorang yang mengambil alih kekuasaan haruslah dengan keras memikirkan luka-luka yang ia harus timbulkan, dan menghentikannya semua pada awal pemerintahannya, dan bukannya bertindak keji dari hari ke hari. Dengan menghentikan kekejian secepatnya, sang peraih kekuasaan dapat meyakinkan orang-orang dan merangkul mereka ke sisinya dengan kebaikan. Seseorang yang tidak bertindak seperti ini – karena takut atau karena nasihat buruk – akan selalu harus memegang pisau di tangan; dan ia tidak akan bisa bergantung pada bawahannya, yang akan mundur karena luka-luka yang terus menerus dan berulang-ulang…."

    Saya mencoba menulis artikel tentang Machiavelli, mudah-mudahan anda suka: http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/02/

    BalasHapus