Selasa, 16 November 2010

BIAS KEADILAN DALAM AGAMA

Berbicara tentang agama, konsep utama pemikiran kita adalah relasi manusia dengan Sang Pencipta. Agustinus dalam confessiones mengatakan bahwa relasi manusia dengan Tuhan adalah relasi subyek dengan obyek. Relasi antar keduanya disebut relasi transendental. Berdasarkan konsep ini, penulis melihat bahwa keberadaan agama memungkinkan manusia memiliki relasi cinta yang intim dengan Tuhan, sebab Ia dikenal sebagai pribadi yang adil serta memiliki kesempurnaan cinta. Konsekuensi relasi cinta yang terjadi antara Allah dengan manusia adalah cinta horisontal antar sesama manusia sebagai subyek yang sama-sama menyembah Tuhan. Namun bila melihat realitas kehidupan manusia dewasa ini, bukan relsi cinta yang tercipta tapi ketidakadilan. Keadilan menjadi bias dalam kehidupan beragama.
Biasnya keadilan menjadi sumber munculnya kekerasan. Kekerasan yang dimaksud bukan sekedar perbuatan tidak baik yang keluar dari hati manusia yang amburadul, tetapi inti keras dan jahat dalam perbuatan-perbuatan itu. Kekerasan bukan sekedar kelemahan seseorang, tetapi lebih pada sikap jahat yang sungguh-sungguh menolak tarikan dan tawaran hati nurani. Kekerasan dalam bahasa agama disebut “dosa”. Kita tahu Allah adalah Yang Maha Suci, adil, membenci kejahatan, namun mengapa Ia tidak mencegah semuanya itu? Apakah Allah lemah dan tak berdaya, ataukah Ia tak mau mencegahnya? Allah “tega” bila Ia sanggup mencegah kejahatan, tetapi justru membiarkan kejahatan terjadi. Benarkah demikian? Tidak! Kejahatan terletak dalam kehendak seseorang yang tidak mau bersikap baik. Kejahatan terjadi atas dasar kehendak bebas manusia untuk berbuat secara tahu dan mau. Keadilan yang membias dalam agama dipengaruhi oleh fundamentalisme dan fanatisme agama yang berlebihan.
Fundamentalisme agama dapat dikatakan sebagai salah satu ekspresi agama yang paling memukau dalam dunia dewasa ini. Dalam situasi ini, agama sedang berperang melawan musuh-musuh rohani yang dilihatnya sebagai kekuatan kosmis yang berniat menghancurkan sendi-sendi agama tersebut. Para penganut setia agama bersedia berperang dalam nama Tuhan, dan tak seorangpun tahu kapan mereka akan berhenti berperang. Telah banyak darah yang mengalir dari orang tak bersalah yang mengalami penderitaan dan kematian. Benar-benar sebuah kemalangan, bahwa di abad ke dua puluh kita masih menyaksikan kekejian seperti ini. Semua dilakukan atas nama agama. Mengibarkan bendera agama merupakan cara yang paling mudah untuk menghancurkan roh kemanusiaan. Inti kehidupan beragama adalah penghayatan hubungan manusia dengan Allah. Penghayatan ini secara psikologis membawa manusia ke dalam pengalaman transendental, pengalaman yang mengatasi dunia realnya sendiri. Pengalaman transendental, secara psikologis membawa manusia pada paham fundamental tentang agamanya. Selama nilai fundamental tersebut memperdalam penghayatan iman seseorang terhadap agamanya dan tidak mengganggu eksistensi orang lain, maka hal itu termasuk dalam taraf positif. Namun tidak dapat disangsikan bahwa fundamentalisme agama akhir-akhir ini justru menimbulkan berbagai macam problem.
Fanatisme agama dapat dikatakan sebagai efek samping dari fundamentalis agama. Pengalaman transendental yang dialami oleh seseorang, berpotensi membawa ia kepada suatu pemahaman yang keliru tentang agamanya, dan lebih lagi kepada orang lain yang berbeda agama. Dengan demikian orang tersebut akan menganggap bahwa agamanya sebagai daerah suci (Fanum). Ia akan sampai pada sikap meyakini bahwa agamanya adalah suci, berasal dari Allah, dan harus menggantikan semua agama. Orang yang berbeda agama dianggapnya sebagai kafir, dan harus ditobatkan atau lebih tragis lagi adalah dibasmi. Fanatisme mengkondisikan orang untuk bersikap tertutup dan sulit berkomunikasi dengan orang lain. Mereka berpegang pada otoritas yang jelas dan tidak dapat dipertanyakan keotoritasan tersebut. Mereka memiliki konsep bahwa jika suatu hal cocok dengan otoritas tersebut, maka dianggap sebagai kebenaran, dan jika tidak sesuai dengan otoritas yang ada, maka hal tersebut dinyatakan sebagai dosa atau kesalahan.
Bila demikian realitas hidup keagamaan kita, dimanakah fungsi agama sebagai lembaga spiritual yang senantiasa menawarkan dasar-dasar kebaikan, kasih, keadilan dan cinta kepada manusia? Keadilan perlu dirasakan dan diciptakan oleh setiap pemeluk agama, karena hal tersebut telah menjadi bagian dari hak setiap individu. Situasi masyarakat yang adil dapat menciptakan keharmonisan serta kerukunan. Tidak akan ada lagi pertikaian, curiga, kebencian, pembakaran rumah ibadat, dan tindak kekerasan lainnya. Bila keadilan telah membias dalam kehidupan beragama, solusi apakah yang dapat ditawarkan? Wacana yang tepat untuk dikemukakan adalah toleransi. Toleransi adalah sebuah wacana yang dikemukakan oleh pihak yang menghendaki terciptanya kedamaian. Harus diakui bahwa tidak mudah menjalankan toleransi, terutama di Indonesia yang sangat beragam suku, adat, budaya, agama, pendatang dan pribumi. Tetapi kita harus yakin bahwa dengan adanya komunikasi dan dialog antar agama yang terbuka, semua bentuk kekerasan atas nama agama dapat kita atasi.
 Paus Benedictus XVI dalam sebuah wawancara dengan wartawan Italia mngatakan tentang pentingnya sikap toleransi antar agama. Ia menegaskan bahwa dialog antar agama hanya dapat terjadi apabila masing-masing pihak sungguh meyakini imannya. Sebab ajaran agama manapun selalu mengajarkan kebaikan, cinta dan kasih, bukan kekerasan. Di sini terlihat keyakinan Paus Benedictus XVI, bahwa dialog antar-agama tidak boleh jatuh menjadi suatu sikap yang mengagungkan "relativisme iman".










Tidak ada komentar:

Posting Komentar