Selasa, 16 November 2010

PROBLEMATIKA SEKS DAN SEKSUALITAS DALAM KEHIDUPAN SEBAGAI WARISAN BAPA GEREJA (Dalam Tinjauan Teologi Moral Sistematis)

I. Pengantar
Seks dan seksualitas merupakan topik yang menarik untuk diperbincangkan dan tak pernah kehilangan daya sensasionalnya bagi siapapun dan dalam zaman apapun. Ketika berbicara tentang seks, berarti kita berbicara tentang sosok manusia seutuhnya. Seks merupakan bagian yang integral dan tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seks menjadi obyek komersial yang bernilai tinggi, sehingga banyak pihak berlomba untuk mengeksploitasinya sebagai sebuah komoditi. Akibat langsung dari pengeksploitasian ini adalah terjadinya pereduksian pengertian manusia terhadap seks. Seks dianggap sebagai sesuatu yang biologis-fisik semata, sehingga maknanya hanya terfokus pada hubungan badan atau persetubuhan antara pria dan wanita.[1] Makna luhur seks sebagai kodrat manusia dengan sendirinya diabaikan. Para penulis Kristen modern yang menulis tentang etika seksual sering menyebut seks dan seksualitas sebagai ciptaan naratif dalam kisah penciptaan. Tujuan penciptaan jenis kelamin memiliki nilai luhur dan baik. Pria dan wanita yang saling mencinta dikatakan turut berpartisipasi dalam rencana Allah. Dalam paper ini penulis hendak menyoroti konsep seksualitas dalam tradisi gereja dan pandangan para Bapa Gereja yang memberi pengaruh pada konsep seksual pada zaman sesudahnya, serta tanggapan kritis para pakar etika seksual tentang konsep seksual yang ada dan berkembang pada zaman sekarang.
II. Definisi
Dalam penggunaan kata sehari-hari, konsep seks dan seksualitas terkadang disamakan artinya. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata seks dan seksualitas mempunyai ari yang berbeda. Seks diartikan sebagai jenis kelamin, hal yang berhubungan dengan jenis kelamin, dan birahi.[2] Seksualitas diartikan sebagai ciri, sifat, atau peranan seks, dorongan seks, kehidupan seks.[3]
II.1. Seksualitas dalam Tradisi Yahudi 
Budaya patriarkhi sangat dominan dalam kehidupan bangsa Yahudi. Konsep patriarkal dalam budaya Yahudi muncul sejak abad 18 SM, di mana Abraham yang memeluk monoteisme memasuki tahap perjanjian dengan Allah. Budaya patriarkal dalam bangsa Yahudi semakin diperkokoh dengan tampilnya Musa sebagai pemimpin yang membebaskan kaumnya dari perbudakan Mesir. Tidak mengherankan bila perempuan dipandang sebagai manusia kelas dua dan tidak memiliki peranan penting dalam masyarakat. Dalam kitab Talmud terdapat hukum yang mengatur siklus haid perempuan sebagai sesuatu yang tabu serta tanggung jawab isteri terhadap suami. Perempuan juga digambarkan sebagai tamak, tukang menguping, malas dan pencemburu. Di sinilah kita melihat peran patriarkhi begitu dominan, wanita sebagai pelengkap dan pendamping bagi kaum pria dalam kehidupan.[4]
II.2. Seksualitas dalam Perjanjian Lama
Pernyataan Perjanjian Lama khususnya Kitab Kejadian telah mengandung pemahaman orisinal manusia mengenai perbedaan jenis kelamin. Heteroseksual manusia dipandang sebagai karya pencipta. Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia laki-laki dan perempuan (Kej 1:27). Pada saat bersamaan teks ini berbicara tentang manusia sebagai gambaran Allah dan sebagai dua jenis kelamin. Tujuan seksualitas dalam Perjanjian Lama adalah prokreasi (Kej 1:28) dan mitra kerja atau penolong (Kej 2:18). Tujuan pertama mengungkapkan tugas dan berkat, sedangkan tujuan kedua mengungkapkan saling memiliki dan mengisi. Berdasarkan kisah penciptaan ini, tidak terdapat unsur ketidaksederajatan di dalamnya. Untuk hidup berpasangan inilah seorang perempuan dan laki-laki bersedia meninggalkan orangtua mereka. Mereka mendirikan persekutuan yang mencapai puncaknya dalam saling serah diri, sehingga mereka menjadi satu daging. Dikatakan bahwa hubungan orisinal antara dua jenis kelamin adalah bebas dari rasa salah dan rasa malu (Kej 2:24). Akan tetapi keadaan bebas dari rasa bersalah dan rasa malu di taman Firdaus tersebut hilang ketika manusia jatuh ke dalam dosa.[5]
Contoh penting menyangkut sikap positif terhadap seksualitas dalam Perjanjian Lama adalah kenyataan bahwa para nabi kerap kali menggunakan analogi perkawinan untuk hubungan Yahwa dengan umat-Nya. Hubungan laki-laki dan perempuan menjadi analogi terbaik dari para nabi dalam menggambarkan hubungan Allah dengan manusia. Dari sekian banyak hukum menyangkut bidang seksual, di antaranya memberikan norma moral yang bernilai tinggi, seperti hukum tentang bestialitas, inses, perkosaan, perceraian dan pelacuran baik yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Selain itu terdapat juga hukum yang kurang sempurna tentang nilai-nilai tertentu dalam bidang seksual, seperti izin poligami dan perselingkuhan bagi laki-laki (Kel 21:7-11), perebutan isteri orang sebagai barang milik (Kel 20:17), serta kemungkinan perceraian yang menjadi hak eksklusif seorang laki-laki (Ul 24:1).[6]
II.3. Seksualitas dalam Perjanjian Baru
Perjanjian Baru menghapus hukum Perjanjian Lama menyangkut pentahtaan kultis. Yesus memperlihatkan sikap wajar alami berhadapan dengan seksualitas, dan tidak memberikan tempat kepada sikap dualistik manikeistis. Yesus memperlakukan perempuan sama seperti laki-laki. Sejumlah perempuan menjadi murid dan sahabat-Nya. Ia tidak membiarkan tradisi Yahudi menjadi penghalang bagi sikap-Nya terhadap perempuan, atau menjadi beban dalam pewartaan-Nya sebagai pembebas para perempuan. Dalam ajaran dan sikap-Nya, sama sekali tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa Ia bersikap negatif terhadap perempuan atau perkawinan. Namun tidak dapat disangkal bahwa Gereja perdana mengupayakan kontrol diri dan disiplin dalam kehidupan seksual.[7]
Peringatan untuk menghindari percabulan demi mengikuti Tuhan, melihat tubuh sebagai kenisah Roh Kudus sangat urgen dibutuhkan. Karena itu, penyembahan berhala yang sering berkaitan dengan perbuatan bejat, ketamakan dan percabulan mendapat tempat utama dalam katalog dosa. Dalam 1 Tesalonika 4:3-8 dikatakan bahwa kesucian yang dikehendaki Allah menuntut sikap menahan diri dan kemurnian dalam kehidupan pernikahan. Pasangan suami isteri diingatkan untuk saling setia dalam cinta. Nilai cinta dimuliakan dengan memberikan kesejajaran di antara ikatan Kristus dan Gereja dengan ikatan perkawinan. Laki-laki harus mencintai perempuan, dan sebaliknya perempuan harus mencintai laki-laki sebagaimana Kristus mencintai dan menyerahkan diri bagi Gereja.[8]
III. Persoalan yang dimunculkan Pengarang
            Pada zaman Bapa Gereja, terdapat banyak golongan yang menyebarkan ajaran sesat yang meresahkan. Salah satu ajaran sesat yang sangat menggelisahkan para Bapa Gereja adalah Gnostisisme. [9]  Sejumlah ahli etika seksual berpendapat bahwa pandangan para Bapa Gereja tentang seks dan seksualitas telah dipengaruhi oleh paham sesat ini. Hal ini memberi dampak pada konsep negatif para Bapa Gereja tentang seks dan seksualitas. Meskipun mereka berjuang keras melawan paham Gnostisisme, namun mereka tetap menjaga jarak terhadap dunia sensual pada umumnya dan mengambil cara pandang yang pesimis dan negative terhadap seks dan seksualitas. Derrick Sherwin Bailey, seorang seorang peneliti etika seksual mendukung pernyataan di atas dengan mengatakan bahwa:

 Walaupun Gereja mengutuk dualisme untuk menolak ikatan perkawinan yang mutlak, namun poin-poin gagasan Kristen dalam topik seksual tidak bertentangan dengan Gnostisisme dan Enkratisme. Keduanya mempunyai persamaan dalam bahasa, dan dari perasaan sentimen antara kesusastraan patristik dan teosofi serta cerita apokrip yang diragukan kebenarannya. Hal ini membuatnya mustahil untuk diragukan bahwa para Bapa Gereja pada hakekatnya setuju dengan perbedaan antara perkawinan dan hubungan seks.

            Persoalan utama dalam pembahasan ini adalah munculnya anggapan yang menyatakan bahwa konsep seks dan seksualitas yang cenderung negatif pada jaman ini merupakan pengaruh ajaran Para Bapa Gereja. Tidak mengherankan bila para tokoh reformator Protestan mempunyai tendensi secara pesimis atas pandangan para tokoh Gereja Katolik tersebut. Mereka secara universal mengatakan Gereja Katolik sebagai penyebab, karena mereka beranggapan bahwa ajaran Gereja Katolik secara keseluruhan dipengaruhi oleh pemikiran Agustinus yang memandang rendah perkawinan. Selain Agustinus, tokoh Gereja lainnya yang dimunculkan adalah Santo Hieronimus.
Selain mengungkapkan penghargaan terhadap perkawinan, Hieronimus juga menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu penghinaan yang merampok martabat manusia. Ia juga mengatakan bahwa mengambil bagian dalam aktifitas perkawinan yang melampaui kebutuhan untuk perkembangbiakan, adalah suatu dosa ringan. Oleh karena pernyataan tersebut, para pakar etika seksual memandang Hieronimus seorang yang birahi tinggi, namun ia mampu mengendalikannya. Hieronimus mungkin tak menyadari bahwa penekanan dorongan seksual secara kejam bukanlah cara yang sehat untuk menghadapinya. Dalam menerjemahkan Kitab Suci, khususnya kitab Tobit, para pakar beranggapan bahwa Hieronimus sangat dipengaruhi oleh pandangannya tentang seks. Tertulianus sebagai tokoh Gereja yang memandang seksualitas sebagai hal yang negatif juga mempunyai sikap yang pesimis terhadap seksualitas. Ia berpendapat bahwa perkawinan dan perzinahan adalah dua hal yang berbeda dalam tingkat kesalahannya. Bila aktifitas seksual menjadi dasar dari perkawinan, maka perkawinan tersebut adalah sebuah perzinahan.
IV. Pendapat Pengarang
Berdasarkan pemaparan di atas, pengarang menyimpulkan beberapa point penting yang menjadi akibat dari pandangan negatif dari warisan seksual bagi kita yang hidup pada jaman ini. Pengaruh warisan pengetahuan yang keliru tentang seksualitas, mengakibatkan orang mempunyai anggapan bahwa:
IV.1. Seks  sebagai bentuk Pengekangan
Pengajaran awali yang mengatakan seks dan seksualitas adalah jahat, mengindikasikan bahwa seakan-akan seks dan dosa adalah bersinonim. Akibatnya, seks bagi beberapa orang dilihat sebagai bentuk pengekangan, bukan kebebasan. Pengajaran negatif tentang seks dan seksualitas menimbulkan beberapa efek dalam pengalaman seksualitas manusia. Dalam menggambarkan pengalaman ini, pengarang membuat suatu ilustrasi dengan bertanya, “mengapa anak-anak takut terhadap gelap?”. Mereka takut kegelapan karena pengajaran orang dewasa yang mengatakan bahwa dalam gelap ada hantu. Mengapa kebanyakan orang zaman sekarang takut berbicara atau melarang memperbincangkan seksualitas? Karena sudah ada ajaran yang mendahului pemikiran mereka bahwa seks dan seksualitas adalah suatu dosa dan jahat. Jika kita enggan untuk berbicara tentang seks dan seksualitas berarti sedikit sekali kita mengerti tentang eksistensi diri kita sendiri.
IV.2. Hidup Selibat lebih Suci daripada Perkawinan
Efek lain dari pengetahuan yang negatif tentang seks dan seksualitas adalah orang-orang lebih menyukai kehidupan selibat dari pada hidup perkawinan. Orang memandang hidup selibat sebagai panggilan yang lebih istimewa dan suci dari pada perkawinan, karena selibat menjauhkan diri dari kehidupan seksualitas. Apalagi melihat realitas sekarang, banyak dieksploitasi melalui surat kabar dan media lainnya bahwa salah satu penyebab kehancuran dan kematian manusia adalah pengaruh hubungan seksual.  Dalam persoalan melawan seks yang tidak terbukti, pengarang kembali mengkritisi tentang hidup selibat. Ia mengatakan bahwa dalam menjalani hidup selibat, Santo Paulus tidak mendapat instruksi langsung dari Tuhan, tetapi ia percaya bahwa selibat itu lebih baik dari perkawinan, (1 Kor 7:25-35). Pendapat ini justru memunculkan pandangan yang lebih negatif terhadap kehidupan selibat, di mana dalam kehidupan selibat juga terdapat kecemburuan dan kepicikan. Kehidupan selibat tidak sepenuhnya bebas dari ikatan keluarga. Ada kaum selibat yang memperhatikan sanak keluarga mereka, terutama anak-anak dari keluarga yang sudah meninggal.
IV.3. Selibat Mendatangkan Kerajaan Allah
Dengan adanya pandangan yang negatif tentang seks dan seksualitas, manusia dengan sendirinya memiliki wawasan yang lebih positif tentang hidup selibat. Pengarang menegaskan bahwa kita perlu mengetahui bahwa bukan hanya hidup selibat yang dapat mendatangkan kerajaan Allah, tetapi juga hidup berkeluarga. Jadi, kita mempunyai dua cara hidup untuk mendatangkan Kerajaan Allah, yakni selibat dan perkawinan. Para selibater dalam berbagai agama yang membangun suatu hidup tapa, melihat seks sebagai suatu rintangan terhadap kontemplasi. Jika mereka menganggap kontemplasi sebagai sesuatu yang sempurna dari manusia, maka tidak mengherankan bahwa mereka sangat mendukung orang-orang untuk hidup selibat. Pengarang berpendapat bahwa kontemplasi tidak selamanya monopoli kaum selibat. Persetubuhan dalam hidup perkawinan juga merupakan pengalaman kebatinan bagi sebagian orang. Jika demikian, di manakah letak esensial kejahatan seksual? 
Dari uraian serta poin-point yang dipaparkan ini, pengarang menyimpulkan bahwa jika Gereja memandang seks seperti yang telah dipaparkan di atas, maka hal ini mengindikasikan bahwa Gereja tidak sempurna. Mungkin menjadi suatu tanda bahwa doktrin dalam Gereja tersebut tidak dapat menjadi dasar dan perlu disempurnakan lagi. Gereja masih harus mengenal dan mempelajari pemikiran tentang seks.
V. Tanggapan Kritis
V.1. Terhadap seks sebagai bentuk Pengekangan
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa pada zaman para Bapa Gereja muncul berbagai aliran sesat yang mengancam kehidupan iman Kristiani. Selain ancaman ideologis, situasi kehidupan bermasyarakat pada saat itu diwarnai berbagai tindakan pelanggaran nilai kemanusiaan, seperti pemerkosaan, pembunuhan, dan lain sebagainya. Sebagian Bapa Gereja yang hidup dalam masa kekuasaan kekaisaran Romawi menjadi saksi atas berbagai tindakan asusila tersebut. Pada zaman itu pandangan lama yang tegas dalam seksualitas telah diganti dengan merajalelanya perzinahan dan percabulan.[10] Penulis berpendapat bahwa tidaklah benar bila kita terburu-buru mengatakan bahwa para Bapa Gereja telah mendapat pengaruh dari ajaran Gnostisisme, sehingga mereka begitu negatif memandang seks dan seksualitas. Berhadapan dengan realitas yang demikian, sebagai seorang pemimpin umat, para Bapa Gereja mempunyai kewajiban melindungi dan memberikan pembelaan kepada umatnya. Jika memang Bapa Gereja memberikan pengajaran bahwa seks adalah dosa, pengertian tersebut akan sangat relevan, mengingat situasi yang dihadapi. Pengetahuan pada dasarnya bersifat progresif dan selalu mengikuti perkembangan zaman. Akan sangat disayangkan bila kita secara lurus mengambil pengajaran para Bapa Gereja tentang konsep seks dan seksualitas, padahal situasi zaman kita telah berbeda. Hal yang seharusnya kita lakukan adalah menerima konsep yang demikian dengan membuat perbandingan terhadap realitas hidup kita serta ilmu pengetahuan lain yang kita miliki. Hal itu justru akan menambah wawasan berpikir kita, terutama dalam hubungannya dengan ilmu sejarah.
V.2. Terhadap  Hidup Selibat lebih Suci dari pada Perkawinan
Pengarang mengambil pernyataan Santo Paulus tentang hidup selibat sebagai dasar kritiknya terhadap cara hidup selibat. Santo Paulus mengatakan bahwa ia tidak mendapat instruksi langsung dari Tuhan mengenai hidup selibat, tetapi ia percaya bahwa selibat itu lebih baik dari perkawinan. Sikap Paulus bukan berarti suatu pelecehan terhadap hidup perkawinan. Bagi Paulus, perkawinan adalah sesuatu yang dikehendaki Allah. “Setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang menerima karunia ini, yang lain karunia itu” (Bdk 1Kor 7:7). Namun jika seseorang memusatkan perhatian sepenuhnya pada Tuhan agar Tuhan berkenan kepadanya, maka ia memberikan kesaksian hidup bahwa dunia sekarang termasuk perkawinan hanyalah suatu masa peralihan. Manusia baru akan mencapai kepenuhan akhir dalam cinta dan pelayanan terhadap Tuhan.[11]
Sangat disayangkan jika seksualitas dijadikan sebagai alasan mengapa orang lebih menyukai dan menganggap suci cara hidup selibat dari pada perkawinan. Bila kita melihat fenomena kehidupan umat Katolik yang hidup di kota-kota besar sekarang ini, mereka sangat disibukkan dengan berbagai rutinitas yang kadang menjenuhkan. Mereka mencari waktu khusus untuk mengadakan kegiatan retret atau rekoleksi di biara-biara dan di rumah retret. Ada kerinduan dalam diri mereka untuk mengalami cara hidup membiara, meskipun hanya dalam jangka waktu yang singkat. Apakah kerinduan mereka ini berhubungan dengan pengaruh konsep negatif tentang seksualitas? Hidup selibat dan hidup perkawinan bukanlah suatu perbandingan yang bertentangan. Tidak dapat dikatakan bahwa salah satu diantaranya lebih baik, sebab kedua cara hidup ini saling melengkapi. Mereka yang menjalankan cara hidup selibat, pada awalnya juga berasal dari anggota keluarga.   
V.3. Terhadap Selibat Mendatangkan Kerajaan Allah
Seperti yang telah dikatakan Santo Paulus bahwa masing-masing kita menerima karunia yang berbeda-beda dari Allah (Bdk 1Kor 7:7). Kita mengimani dan percaya bahwa setiap pemberian Allah bertujuan untuk memuliakan Allah dan menjadi sarana bagi kita untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bagaimanakah caranya menjalankan karunia yang telah dipercayakan, semua itu tergantung dari diri kita sendiri. Bila kita memilih jalan hidup selibat, bukan berarti bahwa secara otomatis Kerajaan Allah menjadi jaminan mutlak. Mereka yang hidup selibat pun berjuang sedemikian rupa sehingga menjadi semakin dekat dengan Allah. Demikian juga, bila mereka yang memilih cara hidup perkawinan, mereka juga berusaha menjalankan hidup sesuai dengan perintah Allah sehingga layak menjadi anak-anak Allah. Terlalu naif untuk mengatakan bahwa konsep seksualitas seakan-akan sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia. Bukankah manusia memiliki kodrat akal budi yang mampu mencerna segala sesuatu berdasarkan baik atau buruknya suatu hal? Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman ini sangat membantu kita untuk semakin kritis terhadap setiap konsep dan idiologi yang mempengaruhi hidup kita.  
VI. Kesimpulan
Dalam kehidupan menggereja, kita mengetahui ada tiga model Gereja, yakni Gereja penantian, Gereja Perjuangan, serta Gereja Jaya. Kita yang masih hidup dalam dunia ini digolongkan ke dalam Gereja perjuangan. Dikatakan demikian, karena setiap saat kita senantiasa berhadapan dengan berbagai rintangan dan godaan yang menghalangi kita untuk mendekatkan diri pada Allah. Terkadang kita menang dalam cobaan, namun kadang juga kita menyerah kalah pada kelemahan daging kita. Realitas hidup Gereja seperti ini menunjukkan bahwa Gereja perjuangan belum sempurna. Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat pengarang yang mengatakan bahwa Gereja tidak sempurna. Hal ini sangat manusiawi, sebab para pemimpin Gereja dan kita sebagai umat adalah manusia yang lemah, sama seperti manusia pada umumnya.
Suatu kesimpulan yang keliru jika dikatakan bahwa berbagai situasi kekacauan saat ini selalu dihubungkan dengan kesalahan dalam membuat konsep tentang seks dan seksualitas pada jaman Bapa Gereja. Mengapa kita senantiasa mencari kambing hitam, padahal dalam diri kita terdapat potensi untuk memilih dan menganalisa segala sesuatu yang berkaitan dengan kebaikan dan keburukan? Konsep seks dan seksualitas zaman sekarang tentu sangat berbeda dengan zaman sebelumnya. Sebab historisitas dan situasi yang kita alami saat ini berbeda dengan situasi pada zaman sebelumnya. Konsep seksualitas dari Bapa Gereja lebih bermakna apologetis terhadap nilai iman Kristiani, dari pada sebagai pengetahuan murni.   




DAFTAR PUSTAKA

Becher, Jeanne, Perempuan Agama dan Seksualitas, Jakarta: Gunung Mulia, 2004.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3, Jakarta: Balai Pustaka,2003.   
Gunawan, Rudy, FX, Refleksi Atas Kelamin, Magelang: Indonesia Tera, 2000. 
Peschke, Karl-Heinz, Etika Kristiani Jilid II (Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi), Maumere: Ledalero, 2003.



[1] Bdk. FX. Rudy Gunawan, Refleksi atas Kelamin, Magelang: Indonesia Tera, 2000, hlm. 3-4.
[2] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-3, Jakarta: Balai Pustaka,2003, hlm. 1014.
[3] Ibid, hlm.1015.
[4] Bdk, Jeanne Becher, Perempuan Agama dan Seksualitas, Jakarta: Gunung Mulia, Hlm.5-9.
[5] Bdk, Karl-Heinz Peschke SVD, Etika Kristiani Jilid II (Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi), Maumere: Ledalero, Hlm. 237-240
[6] Ibid,
[7] Ibid, hlm. 241.
[8] Ibid,
[9] Gnostisisme merupakan ajaran sesat yang melihat dunia material sebagai kejahatan, dan dunia rohani sebagai kebaikan.
[10] Ibid,  Karl-Heinz Peschke SVD.
[11] Ibid, hlm. 242.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar