Selasa, 16 November 2010

KEADILAN BAGI KAUM BURUH DAN MAJIKAN (Tinjauan Ajaran Sosial Gereja Dalam Rerum Novarum artikel 17)

1. Pendahuluan
            Masalah ketidakadilan senantiasa mewarnai kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Sejak dahulu hingga kini, realitas kehidupan sosial senantiasa diwarnai dengan persoalan keadilan dan ketidakadilan. Ulpianus, seorang ahli hukum Romawi mengatakan bahwa keadilan adalah tribuere jus suum cuiqe, yang berarti memberi masing-masing haknya.[1] Dengan kata lain, keadilan adalah pemenuhan hak, sedangkan ketidakadilan adalah pengingkaran hak. Penulis hendak mengatakan bahwa ketidakadilan telah menjadi suatu pergumulan di dalam kehidupan bersama manusia yang tidak pernah terselesaikan. Fokus pembahasan penulis adalah persoalan keadilan dalam kehidupan kaum buruh dan majikan.
            Sudah menjadi rahasia umum bahwa kaum buruh di manapun, kapanpun dan dalam situasi apapun senantiasa mengalami ketidakadilan. Tentu saja ketidakadilan dalam konteks ini dihubungkan dengan pemilik modal atau majikan tempat dimana buruh bekerja. Dikatakan tidak adil karena pekerjaan, tenaga, serta waktu yang mereka berikan tidak sebanding dengan upah yang mereka terima. Berbagai aksi demonstrasi yang dilakukan oleh serikat buruh ataupun oleh para mahasiswa akhir-akhir ini senantiasa berkaitan dengan problematika upah yang layak bagi buruh.
            Melalui tilisan ini, penulis mencoba melihat realitas ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan kaum buruh dewasa ini dalam perspektif Rerum Novarum. Pertanyaan yang penulis ajukan adalah apakah ajaran ini masih aktual dalam konteks problematika relasi keadilan antara buruh dan majikan dewasa ini?  

2. Latar Belakang Munculnya Rerum Novarum[2]
            Rerum Novarum merupakan Ensiklik Paus Leo XIII yang diterbitkan pada 15 Mei 1891. Ensiklik ini muncul dalam menanggapi situasi jaman yang sedang dilanda kegoncangan dalam bidang sosial, ekonomi dan politik yang berdampak pada meningktnya suhu ketegangan dan pemberontakan aktual antara pemilik modal (majikan) dengan kaum buruh. Dalam bidang politik, akibat dari kegoncangan itu ialah munculnya faham baru tentang masyarakat dan negara serta pemerintahan. Struktur masyarakat tradisional mengalami pembongkaran dan mulai muncul struktur lain yang membawa harapan akan bentuk-bentuk kebebasan yang baru.   
Dalam bidang ekonomi, pandangan yang dominan pada waktu itu sangat bersifat naturalistik serta mengingkari hubungan antara ekonomi dan moralitas. Keuntungan pribadi dianggap sebagai satu-satunya motif yang sah bagi kegiatan ekonomi. Prinsip operatif bisnis yang utama adalah prinsip persaingan bebas dan tidak terbatas. Hal ini berarti bahwa bunga modal, harga-harga barang dan jasa, untung-laba, dan upah harus ditetapkan melalui penerapan mekanisme hukum-hukum pasar. Para pemilik modal senantiasa berupaya agar pemerintah tidak mencampuri persoalan ekonomi. Dalam dunia ekonomi seperti ini, pihak yang paling kuat (pemilik modal) menjadi sangat berkuasa. Mereka tidak hanya menuntut kekuatan hukum, tetapi juga mendominasi hubungan bisnis antara orang perorangan serta merongrong seluruh tatanan sistem ekonomi. Sistem kerja diperdagangkan, dapat dijual dan dibeli di pasar, harganya ditetapkan oleh hukum kebutuhan dan tawaran, tanpa mengindahkan hal-hal yang sungguh diperlukan untuk menghidupi manusia perorangan serta keluarganya. Tidak adanya kepastian bagi pekerja untuk dapat menjual hasil kerjanya sendiri, sebab ancaman pengangguran akan menghampirinya.[3]    
Ensiklik Rerum Novarum oleh Paus Leo XIII ini hendak menanggapi kebutuhan kodrat manusia yang dijiwai oleh asas-asas semangat Injil. Bagi kalangan pemegang modal, ensiklik ini menimbulkan oposisi, tetapi sebagian besar masyarakat menyambut dengan penuh antusias dan kekaguman yang mendalam. Tepatlah dikatakan bahwa ensiklik ini dipandang sebagai ikhtisar ajaran Katolik dalam bidang sosial dan ekonomi.




3. Metode Pembahasan[4]

3.1. See
            Ensiklik Rerum Novarum mengingatkan kedua pihak (majikan dan buruh) akan tugas mereka satu terhadap yang lainnya, teristimewa kewajiban mereka berdasarkan keadilan dan ajaran agama (Gereja). Gereja sungguh mampu mempertemukan para pemilik produksi yang kaya dengan orang-orang yang tidak mempunyai. Ensiklik menganjurkan beberapa gagasan pokok yang ditujukan kepada kedua pihak:
  • Kepada kaum buruh:
    • Memenuhi dengan setia dan sepenuhnya kontrak kerja yang dibuat secara bebas dan wajar.
    • Tidak menimbulkan kerusakan pada harta milik, atau merugikan pribadi majikannya.
    • Menghindari penggunaan kekerasan dalam membela kepentingannya dan usaha menimbulkan kericuhan dalam masyarakat.
    • Menghindari pergaulan dengan orang-orang yang berprinsip jahat, yang menggunakan janji-janji licik tentang hasil usaha yang besar, untuk menimbulkan harapan yang berlebihan yang hanya dapat berakhir dengan kekecewaan yang sia-sia belaka dan kerugian besar.
  • Kepada majikan:
    • Majikan yang kaya jangan memperlakukan para buruhnya sebagai budak, melainkan harus menghormati mereka sebagai manusia yang martabat pribadinya sederajat dengan dia, bahkan menjadi sangat luhur karena panggilan Kristiani mereka.
    • Wajib mengusahakan agar buruh mempunyai waktu untuk kewajiban keagamaannya, agar ia jangan sampai terkena oleh pengaruh yang merusak dan terjerumus kedalam dosa. Hal in supaya buruh tidak melalaikan tugas rumah tangganya dan menyimpang dari pemakaian bijaksana upah kerjanya.
    • Majikan jangan membebankan tugas-tugas yang melampaui kekuatan manusia, atau sifatnya tidak cocok dengan usia dan jenisnya.
    • Kewajiban majikan yang terpenting adalah memberi kepada semua dan setiap orang apa yang adil.
    • Majikan jangan sampai lupa bahwa hukum ilahi maupun manusiawi melarang mereka memeras kaum miskin yang menderita demi keuntungan.
    • Merampas upah yang menjadi hak buruh berarti menjalankan dosa berat.
    • Majikan harus dengan cermat mengusahakan untuk tidak merugikan tabungan kaum buruh, entah melalui paksaan, tipu muslihat, atau tindakan penghisapan.

3.2. Judge
            Dalam latar belakang, penulis telah menjelaskan sebab munculnya Rerum Novarum yakni situasi masyarakat yang mengalami ketegagangan dalam aspek sosial, ekonomi serta politik. Ketegangan ini menimbulkan reaksi anarkis dari mereka yang lemah dan tak mempunyai apa-apa. Ketegangan diakibatkan oleh egoisme kaum majikan yang sangat berpengaruh dalam perekonomian dan bisnis yang mereka jalankan. Mereka tidak mempedulikan nilai kemanusiawian seseorang. Hal yang terpenting adalah memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dan meminimalisir angka kerugian. Pada prinsipnya setiap peraturan, larangan, ajakan, atau undang-undang yang berlaku dalam masyarakat dibuat karena dalam masyarakat tersebut terdapat pelanggaran-pelanggaran. Demikian juga dengan ensiklik yang dikeluarkan Paus Leo XIII yang berisi ajaran dan ajakan bagi seluruh umat manusia.
  • Analisis ajaran Rerum Novarum bagi kaum buruh:
    1. Ajakan untuk setia pada kontrak kerja yang telah dibuat secara bebas dan wajar, hendak mengatakan bahwa telah terjadi sebelumnya ketidaksetiaan buruh terhadap kontrak kerja yang telah disepakati bersama dengan majikan.
    2. Ajakan untuk tidak membuat kerusakan harta milik majikan mengindikasikan bahwa pernah terjadi pengrusakan harta milik majikan yang mengakibatkan kerugian.
    3. Ajakan untuk menghindari penggunaan kekerasan dalam membela kepentingan buruh juga menandkan bahwa kerap terjadi peristiwa yang sama pada waktu sebelumnya. Kekerasan justru akan menimbulkan kerugian pada kedua belah pihak.
    4. Ajakan untuk menghindari pergaulan dengan orang-orang yang berprinsip jahat menandakan bahwa dlam kehidupan bersama pada waktu itu terdapat banyak paham baru yang menyesatkan konsep pemikiran orang. Hal ini berbahaya, sebab dapat mengakibatkan sikap antipati dan iri hati terhadap pemilik modal.
  • Analisis ajaran Rerum Novarum bagi majikan:
    1. Ajakan bagi majikan kaya untuk tidak memperlakukan para buruhnya sebagai budak. Ajakan ini tentu saja berangkat dari realitas yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya, dimana buruh diperlakukan sebagai budak. Paus menghendaki agar majikan menghargai sisi kemanusiaan mereka.
    2. Ajakan untuk memperhatikan waktu bagi buruh untuk menjalankan kewajiban keagamaannya. Tentu saja dengan harapan bahwa para buruh tidak terjebak dalam dosa. Sebab pengaruh dosa dapat mengakibatkan manusia menjauh dari Tuhan.
    3. Majikan jangan membebankan tugas-tugas yang melampaui kekuatan manusia. Di sini tampak bahwa nilai kemanusiaan lebih tinggi dari pada nilai kerja, meskipun kerja membantu kita untuk memenuhi kebutuhan hidup.
    4. Majikan wajib memberi kepada semua dan setiap orang apa yang adil. Perkataan wajib memberi mengindikasikan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, majikan tidak pernah memberikan materinya kepada orang lain yang membutuhkan. Ajakan paus ini hwndak mengetuk hati dan perasaan mereka. Mereka tidak hidup sendiri, tetapi bersama dengan orang lain.
    5. Majikan jangan sampai lupa bahwa hukum ilahi maupun manusiawi melarang mereka memeras kaum miskin yang menderita demi keuntungan. Sebab memeras hak milik orang lain sama dengan mencuri.
    6. Merampas upah yang menjadi hak buruh berarti menjalankan dosa berat. Konsekueni dari merampas upah buruh adalah dosa berat. Ini berupa ajaran iman yang hendak membimbing para majikan untuk menghayati spiritualitas kekristenan mereka.
    7. Majikan harus dengan cermat mengusahakan untuk tidak merugikan tabungan kaum buruh, entah melalui paksaan, tipu muslihat, atau tindakan penghisapan. Majikan jangan menjadi lintah darah bagi kaum buruh.

3.3. Act
            Setelah melihat isi dokumen ini, penulis mencoba mengaktualisasikan ajaran tersebut dalam jaman ini. Realitas yang terjadi akhir-akhir ini antara majikan dan buruh adalah relitas ketidakadilan dalam hal pemberian upah atas kerja yang dilakukan oleh buruh. Satu ajaran Paus Leo XIII yang tepat untuk diaktualisasikan pada jaman sekarang adalah ajaran kepada majikan tentang memberi kepada semua dan setiap orang apa yang adil.
            Realitas hidup buruh jaman sekarang tidak berbeda dengan jaman-jaman sebelumnya. Buruh selalu diperlakukan secara tidak adil dalam hal pembagian upah kerja. Kiranya ajaran Rerum Novarum tentang memberi kepada semua orang apa yang adil kembali digemakan kepada mereka yang memiliki modal. Dengan demikian, bila seruan ini diterima dengan baik, maka Rerum Novarum atau hal-hal yang baru akan tercipta di dunia. Rerum Novarum inilah yang menjadi gambaran terwujudnya suatu masyarakat yang adil dan beradab.




4. Penutup
            Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran.[5] Gereja sebagai salah satu institusi sosial, melalui tahta kepausan telah memberikan perhatian kepada persoalan keadilan sosial bagi kaum buruh. Namun tidak menutup kemungkinan bagi Gereja untuk melakukan tindakan ketidakadilan terhadap kaum buruh. Upah yang diterima karyawan yang bekerja dalam lembaga gereja dapat dikatakan masih berada di bawah ketentuan upah minimum yang ditentukan oleh institusi pemerintahan. Sebagai anggota dan calon pemimpin umat, penulis melihat bahwa sudah saatnya kita terjun ke lapangan, bukan hanya berkutat dalam tataran ide atau wacana belaka. Dengan demikian, kita dapat meneruskan amanat Rerum Novarum yang dicetuskan Paus Leo XIII. Kita ciptakan hal-hal baru yang dapat mencerminkan dunia sebagai tempat yang layak dihuni oleh semua manusia tanpa terkecuali.


[1] Yohanes mardimin, Dimensi Kritis Proses pembangunan di Indonesia, Yogyakarta: Kanisius,1996, hlm. 18
[2] Bdk. Kumpulan Dokumen ajaran Sosial gereja Tahun 1891-1991 dalam Mater et Magistra, hlm.137-138
[3] Bdk. Ibid, centesimus Annus, hlm.804
[4] Bdk.Ibid, rerum Novarum, hlm.28
[5] John rawls, Teori Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar