Selasa, 16 November 2010

ATHEISME PRAKTIS KEAGAMAAN DI INDONESIA DALAM TINJAUAN PEMIKIRAN KARL MARX


1. Pengantar
Sebagai warga negara yang baik, kita mengetahui bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang mengakui adanya Tuhan. Kita mengetahui ada beberapa aliran agama besar dunia yang hidup dan berkembang di Indonesia, seperti Islam, Kristen, Hindu dan Budha.. Bila kita berangkat dari data-data, peraturan, serta undang-undang yang berlaku, maka kita akan berpendapat bahwa bangsa Indonesia sungguh sebagai bangsa yang beragama. Pernyataan ini benar, karena bangsa Indonesia memiliki sejumlah undang-undang dan peraturan yang berbicara tentang agama. Namun sangat ironis bila kita melihat realitas kehidupan beragama yang sesungguhnya dijalani oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Kita dapat menyaksikan berbagai peristiwa kekerasan seperti pembakaran tempat ibadah, pembunuhan, pengeboman, pemerkosaan, dan korupsi. Lebih ironis lagi bahwa ada kelompok tertentu yang mengatasnamakan agama tertentu dalam melakukan berbagai tindak kekerasan. Tanpa perasaan berdosa, mereka meneriakkan nama Allah di saat melakukan aksi. Sesungguhnya Allah yang seperti apa yang mereka imani, mereka bela, dan mereka teriakkan? Dalam tulisan ini penulis mencoba menelusuri realitas penghayatan iman dalam kehidupan keagamaan masyarakat Indonesia, dalam terang pemikiran Karl Marx. Marx tidak mengkritik agama secara langsung dan khusus, namun obyek kritikan sesungguhnya adalah pada masyarakat. Penulis juga mencoba memberikan kritik, masukan serta kesimpulan secara keseluruhan dari berbagai pendapat yang dikutip.


2. Pengertian Atheisme Praktis
Bila kita berbicara tentang atheisme praktis, terlebih dahulu kita harus mengerti arti dari term atheis itu sendiri. Dalam Komunisme-Marxis Untuk Sosiologi, Dr. Armada Riyanto menulis “ Atheisme terdiri dari term A yang berarti Tidak, dan Teos yang berarti Tuhan. Orang Indonsia menambahi kata “ Percaya”, sehingga atheisme berarti tidak percaya Tuhan”.[1] Pengertian atheisme praktis dalam filsafat ketuhanan adalah orang yang memiliki konsep tentang Tuhan serta percaya pada Tuhan, tetapi dalam praktek hidupnya tidak menjalankan perintah, nasehat, dan hukum Tuhan. Berangkat dari pengertian ini, maka obyek pemikiran kita tentang atheis bukan hanya berorientasi pada peristiwa komunisme di masa lampau saja, tetapi pemikiran kita dapat lebih luas dan lebih peka terhadap realitas yang terjadi dewasa ini, baik berupa peristiwa kekerasan, maupun tindakan yang melanggar nilai kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk beragama.

3. Atheisme dalam sejarah bangsa Indonesia
Terminologi tidak percaya Tuhan atau atheis dalam bangsa Indonesia, kerap kali dihubungkan dengan komunisme. Gerakan partai komunis dalam benak bangsa Indonesia menunjuk pada tindakan kebrutalan seperti pembunuhan para jendral, pembantaian masal, penculikan serta pembunuhan para tokoh agama, yang menjadi penyebab traumatis masyarakat Indonesia.[2] Sejarah hitam bangsa Indonesia dimulai ketika ribuan orang tak bersalah  terutama di pulau Jawa dan Bali dibantai secara sia-sia karena dituduh sebagai komunis. Menurut beberapa sumber, antara 500.000 jiwa sampai 2 juta jiwa tewas dibunuh. Ribuan lainnya mendekam di penjara atau dibuang ke pulau Buru.[3] Tokoh seperti D.N. Aidit dan Kartosuwiryo sampai saat ini kita kenal sebagai pimpinan komunis yang memberontak. Label komunis kita berikan kepada mereka karena berbagai aksi teror dan pembunuhan yang mereka lakukan, serta visi dan misi yang mereka canangkan untuk membangun suatu negara komunis. Kita patut berbangga bahwa peran pemimpin bangsa pada waktu itu mampu mempertahankan identitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragama, sehingga sampai saat ini kita masih memiliki label sebagai bangsa yang beragama.

4. Atheisme praktis di Indonesia dewasa ini
Merujuk pada contoh yang dipaparkan oleh Dr.Armada Riyanto, beliau lebih menitikberatkan contoh atheisme praktis pada tindakan kekerasan secara fisik seperti pembunuhan, pembakaran tempat ibadah, dan tindakan kriminal lainnya. Penulis setuju dengan pandangan serta contoh ini, namun menurut penulis, contoh tindakan atheisme praktis bukan hanya dalam bentuk kekerasan fisik saja, melainkan juga dalam bentuk ketidakadilan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Meskipun bukan tidak masuk dalam kategori sebagai bentuk kekerasan fisik, namun membawa dampak negatif bagi semua orang. Krisis moneter berkepanjangan yang kita alami menjadi contoh dari dampak korupsi. Kita mungkin tidak akan pernah lupa dengan kasus mantan presiden Indonesia Soeharto, yang hingga saat ini terus digugat oleh berbagai pihak untuk segera diadili terkait kasus korupsi. Bila kita bandingkan kasus ini dengan contoh-contoh yang dipaparkan sebelumnya, nampak bahwa kasus korupsi lebih manusiawi, karena tidak membawa korban jiwa. Namun bila dilihat dari dampaknya, kasus korupsi ini justru lebih menyengsarakan masyarakat secara luas.
Bila kita bertitik tolak pada pengertian atheisme praktis, penulis dapat memberi kesimpulan sementara bahwa para koruptor adalah penganut atheisme praktis. Mereka  beragama, melaksanakan ibadah, dan menjalani peraturan agama, namun semua itu hanya sebatas menjalankan kewajiban dan tanpa penghayatan di dalam iman. Maka tidak mengherankan bila sikap serta tindakan mereka tidak mencerminkan sebagai pribadi yang beragama. Mungkin mereka dapat kita bandingkan dengan orang farisi dalam kitab suci umat kristiani. Dalam atheisme praktis, ada segregasi antara hidup keagamaan (religiositas) dan perilaku harian (moralitas). Seseorang yang sadar atau tidak sadar menganut atheisme praktis, bisa sempurna melaksanakan ritual ibadah sekaligus melakukan korupsi tanpa merasakan hardikan moral dalam dirinya.

5. Kritik Karl Marx tentang agama
Dalam kritik agamanya, Marx setuju bahwa ide agama dan Tuhan diciptakan oleh manusia. Ide itu timbul dari hubungan manusia dengan masyarakatnya.[4] Gagasan Tuhan dalam agama timbul ketika manusia merasakan kebutuhan untuk mengandaikan suatu hakekat yang menjadi pegangan dan yang mengisi kekurangannya. Manusia sadar bahwa ia tidak dapat mencukupi dirinya, dan merasa dirinya teralienasi. “Agama adalah realisasi hakikat manusia dalam angan-angan, sehingga hakekat manusia tidak mempunyai realitas yang sungguh-sungguh”. Dari pernyataan Marx ini, kita dapat menganalogikan realitas manusia dengan kisah pewayangan dalam kebudayaan masyarakat Jawa. Manusia sebagai lakon atau tokoh wayang dalam panggung dunia. Manusia yang secara inderawi nyata, seakan-akan menjadi semu atau yang tidak sungguh-sungguh ada. Sedangkan Tuhan yang tak kelihatan, dijadikan sebagai sesuatu yang nyata dan ada. “Agama adalah sekaligus ungkapan penderitaan yang sungguh-sungguh dan protes terhadap penderitaan”. Situasi bangsa kita yang dilanda berbagai persoalan, entah politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan, bencana alam, telah mengkondisikan masyarakat dalam penderitaan. Realitas penderitaan yang sungguh nyata saat ini adalah masyarakat korban lumpur LAPINDO. Mereka menderita dan menuntut pihak-pihak yang terlibat untuk bertanggung jawab. Namun hingga kini nasib mereka belum jelas. Mereka harus mengaduh ke mana lagi? Siapakah yang sanggup mengerti perasaan mereka? Tuhan?
“Agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati”. Pernyataan Marx ini, menurut penulis menjawabi pertanyaan di atas. Dalam situasi penderitaan, orang yang beragama secara personal mengadakan relasi dengan Tuhan dalam doa. Namun hal ini belum memberi jaminan akan perubahan nasib manusia tersebut. Dunia tetap menjadi dunia yang nyata, yang tidak peduli terhadap penderitaan orang lain. “Agama adalah candu rakyat”.[5] Inilah pendapat Marx yang cukup terkenal dalam kaitannya dengan agama. Sebenarnya, Marx tidak banyak menulis tentang agama sebagai ideologi, melainkan ia melihat dari perspektif sosio historiografis masyarakat yang menjadikan agama sebagai praktik pembenaran sepihak tanpa implementasi lebih lanjut dalam praktik kehidupan.[6] Pendapat di atas adalah penggalan kalimat dari sekian kalimat yang membahas hakekat manusia ditengah kapitalisme kehidupan, dimana peran agama selalu menjadi pertanyaan.
 Jelaslah bahwa pernyataan Marx ini bukan pertama-tama hendak mengkritik agama, tetapi  kepada mereka yang mengaku beragama namun melakukan praktek keseharian yang justru bertentangan dengan nilai-nilai agama yang dianutnya. Mereka itu siapa? Mereka yang dimaksudkan adalah masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini dapatlah dikatakan bahwa masyarakat yang memiliki wewenang dalam hukum atau disebut sebagai penguasa, adalah sebagai pelaku atheisme praktis. Sedangkan masyarakat yang tidak memiliki kuasa dalam hidup bersama adalah korban dari atheisme praktis. Mengapa atheisme praktis? Karena pada saat mereka melakukan tindakan keseharian yang bertentangan dengan nilai-nilai agama yang bersifat universal itu, pada saat itu juga mereka "membunuh" Tuhan. Jika demikian, maka benarlah apa yang dikatakan Nietzce bahwa Tuhan telah mati (God is death). Kematian Tuhan bukan dalam wadah akal budi tentang Tuhan, namun kematian Tuhan dalam batasan tingkah laku serta pikiran yang tidak lagi mencerminkan sebagai pribadi yang mengimani adanya Tuhan. Marx menegaskan bahwa bukan agama yang perlu diselidiki, melainkan manusia, karena manusia adalah dasarnya yang nyata.[7]
Pertanyaan lebih lanjut yang dapat kita gugat adalah apa yang perlu dikritik dalam masyarakat? Unsur apakah dalam masyarakat yang mencegah manusia untuk merealisasikan hakikatnya? Marx melihat bahwa keterasingan manusia dari kesosialannya haruslah ditemukan dalam struktur masyarakat.  Struktur masyarakat yang tidak memperbolehkan manusia bersikap sosial adalah perpisahan antara civil society dan Negara. Dalam civil society, orang bergerak karena dimotori oleh kepentingan egoisme sendiri. Kemudian negara dimunculkan sebagai kekuatan yang mengatasi egoisme individu-individu dan dimaksudkan untuk mempersatukan masyarakat.  Sebagai individu manusia itu egois, dan ia menjadi sosial karena harus taat kepada Negara. Jika manusia itu memiliki sosialitas secara personal, maka tidak perlu ada Negara yang mengaturnya. Dalam struktur masyarakat yang coba ia pahami, Marx melihat bahwa ternyata agama menjadi suatu produk dari sebuah masyarakat kelas. Agama kemudian ia  pandang sebagai produk keterasingan maupun sebagai ekpresi dari kepentingan kelas, di mana agama dapat dijadikan sarana manipulasi dan penindasan terhadap kelas bawah dalam masyarakat.[8]
Selain itu, Marx menemukan bahwa keterasingan dasar manusia adalah keterasingannya dari sifatnya yang sosial. Tanda keterasingan tersebut adalah adanya eksistensi Negara sebagai lembaga dari luar dan memaksa individu-individu untuk bertindak sosial, padahal individu itu sendiri bertindak egois. Menurut Marx, yang perlu dikritik adalah seluruh sistem yang memerlukan Negara, bukan bentuk-bentuk kenegaraan.  Secara khusus Marx merumuskan tuntutan bahwa “Manusia adalah mahluk tertinggi bagi manusia, jadi dengan imperatif kategoris untuk menumbangkan segala hubungan di mana manusia adalah makhluk yang hina, diperbudak, terlupakan, terhina” [ICHR, MEW 1, 385].[9]

6. Kritik Feuerbach tentang agama
Karl Marx memandang bahwa kritik agama haruslah sampai pula pada kritik masyarakat. Untuk memahami pemikiran Marx tersebut, kita berangkat dari pandangan Feuerbach tentang kritik agama. Feuerbach mengatakan bahwa “Bukan Tuhan yang  menciptakan manusia, tetapi sebaliknya Tuhan adalah ciptaan angan-angan manusia”.[10]  Jika kita kurang kritis menanggapi pernyataan Feuerbach ini, kemungkinan besar kita akan terjerumus ke dalam paham atheisme praktis. Mengapa? Karena secara logika pernyataan ini sangat rasional dan dapat dibuktikan. Kita mengetahui bahwa secara kodrati manusia mempunyai daya pikir dan imajinasi. Dengan adanya kemampuan ini manusia memiliki peluang untuk mencipta segala sesuatu yang ia kehendaki. Dengan akal budi serta kemampuan berimajinasi, manusia dapat berpikir tentang sesuatu hal yang baik atau jahat. Allah, surga, neraka, malaikat, adalah hasil rekayasa akal budi manusia. Namun kemudian manusia lupa bahwa angan-angan itu adalah ciptaannya sendiri.[11]
Kritik ini berdasarkan pengandaian Feurbach bahwa realitas yang tak dapat disangkal adalah pengalaman inderawi dan bukan pikiran spekulatif. Agama merupakan proyeksi hakikat manusia dan dengan demikian agama mengungkapkan keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Dalam agama, manusia malah mengasingkan sifat-sifat itu pada Tuhan dengan memandangnya sebagai yang maha kuat dan maha baik, bukannya berusaha untuk menjadi utuh dan sesempurna mungkin. Manusia lalu mengharapkan akan menerima kesempurnaan di surga. Lebih lagi, Feuerbach melihat bahwa dengan adanya agama, manusia kemudian menjadi egois, karena daripada mengembangkan potensi persahabatan dan cinta kasih, lebih baik manusia mengasingkan dirinya pada cinta kasih Ilahi. Agama menjadi proyeksi diri manusia, dan karena itulah manusia mengalami keterasingan.[12] Feuerbach mengatakan bahwa: Manusia  hanya dapat mengakhiri keterasingannya dan menjadi diri sendiri apabila ia meniadakan agama. Ia harus menarik agama ke dalam dirinya sendiri. Ia harus menolak kepercayaan pada Tuhan yang maha kuat, maha baik, maha adil, maha tahu, supaya ia sendiri menjadi kuat, baik, adil, dan tahu. Manusia harus membongkar agama agar ia dapat merealisasikan potensi-potensinya.[13]

7. Perjumpaan Feuerbach dan Marx dalam agama
Feuerbach dan Marx dalam pemikiran tentang agama disatu pihak memiliki perbedaan pendapat. Feuerbach melihat Tuhan sebagai hasil proyeksi manusia. Manusia tidak merealisasikan hakekatnya secara nyata, tetapi hanya secara semu dalam khayalan agama. Pernyataan Feuerbach ini dipertanyakan oleh Marx. Ia berpendapat bahwa Feuerbach tidak cukup konsekuen. Seharusnya ia bertanya: Mengapa manusia sampai mengasingkan diri ke dalam agama? Mengapa manusia tidak merealisasikan hakekatnya secara nyata? Mengapa hanya secara semu dalam khayalan agama? Namun dipihak lain dapat dikatakan bahwa pemikiran Feuerbach menjadi titik tolak bagi pemikiran Marx di kemudian hari. Dari pemikiran Feuerbach, Marx menulis bahwa “Manusia yang membuat agama, bukan agama yang membuat manusia”.[14] Ia mengembangkan konsep kritik agama Feuerbach menjadi kritik terhadap masyarakat. Kritik surga menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi kritik hukum, kritik teologi menjadi kritik politik.
Kritik tentang agama dalam Marx dan Feuerbach bertujuan mengembangkan esensi manusia yaitu akal, budi, kemauan, dan perasaan, sehingga manusia dapat berbaur dalam kebersamaan. Tentang aktivitas utama, Marx dan Feuerbach memandang sebagai kerja sama dalam membangun dunia yang lebih mulia. Tentang produk masyarakat yang diciptakan, menurut Marx dan Feuerbach ialah masyarakat yang terdiri manusia-manusia besar yang memiliki kemauan, pikiran, dan perasaannya berkembang secara universal, merasa satu dengan semesta.[15]

8. Kesimpulan
Atheisme praktis adalah disposisi diri yang percaya kepada Tuhan, tetapi dalam hidup sehari-hari berlaku seolah-olah tidak ada Tuhan.Divina Commedia Indonesiana”. Inilah judul tulisan Dr. Armada Riyanto dalam harian kompas (selasa, 29 Mei 2007). Beliau menulis “ Sebab, sementara di dunia ini, doa, ziarah, zikir-aneka pujian, meditasi, sesaji sebagai ungkapan ketakwaan agamais kepada Tuhan terasa simbolis belaka. Hati tetap hipokrit, moralitas tetap tinggal dalam kata. Diserukan sebagai slogan, tetapi nol dalam penghayatan keseharian”. Tulisan ini berangkat dari realitas politik bangsa indonesia yang dilanda berbagai persoalan. Siapa, mengapa, bagaimana, berapa, buktikan, merupakan  terminologi yang mungkin paling sering diucapkan oleh para pemimpin kita saat ini untuk mengatakan pembelaan diri. Dalam kaitannya dengan judul tulisan ini, penulis mengambil kesimpulan bahwa bangsa Indonesia sedang mengalami krisis identitas sebagai bangsa yang beragama. Bangsa yang sedang mencari tentang apa dan siapa yang paling benar dalam kehidupan ini.




[1] Armada Riyanto, Agama dan Komunisme, STFT, 2007, 4.
[2] Bdk ibid. hlm 4
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Komunis_Indonesia /( akses 31 Mei 2007)
[4] Franz–Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Indonesia, 1999, hlm. 72.
[5] Jean Lacroix, The Mening Of Modern Atheism, trj. Garret, Barden, Dublin: Gill&Son, 1956, hlm. 35.
[6] http : //Yudiwah. Wordpress.com/2007/03/24/ (Akses 29 Mei 2007)
[7] Franz–Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Indonesia, 2003, hlm. 75.
[8] Ibid. hlm, 78
[9] Ibid. hlm. 80
[10] Ibid., hlm. 68
[11] Ibid.
[12] http : // dirga. Wordpress.com/ page/ 2 /( akses 27 Mei 2007)
[13] Op.cit. hlm.71
[14] Op.cit. hlm. 72
[15] http : //Yudiwah. Wordpress.com/2007/03/24/ (Akses 29 Mei 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar