Selasa, 16 November 2010

KONSEP KETIDAKADILAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT JAWA DITELAAH DARI SUDUT PANDANG BAHASA

Di sepanjang sejarah umat manusia, derajat kaum perempuan selalu berada di bawah kaum lelaki. Hal ini dapat kita amati dalam sejarah kehidupan bersama manusia dimanapun, kapanpun, pada bangsa apapun, dan pada kebudayaan tingkat manapun. Bahkan, keadaan itu telah menjadi pengetahuan umum yang tidak perlu diperdebatkan lagi.
Dalam hal ini epistemologi setiap kebudayaan tersebut turut berperan. Terutama sekali dalam pembentukan pola berpikir masyarakat terhadap kedudukan kaum perempuan. Epistemologi meletakkan bahasa sebagai salah satu faktor dalam pembentukan pola berpikir. Seluruh kegiatan berpikir manusia sendiri, erat terkait dengan kemampuannya sebagai makhluk yang berbahasa[1].
Berkat kemampuan berbahasa, manusia mampu mengembangkan pengetahuannya. Sebab berkat kemampuan tersebut manusia bukan hanya dapat mengungkapkan dan mengkomunikasikan pikiran, perasaan dan sikap batinnya, tetapi juga menyimpan, mengingat kembali, mengulas, dan memperluas apa yang sampai sekarang telah diketahuinya[2]. Penyimpanan dan pewarisan khasanah budaya masa lalu serta pengembangannya di masa sekarang menuju masa depan tidak dapat dilakukan tanpa bahasa.
Tulisan ini hendak mencoba mengungkap berbagai alasan perlakuan tidak adil terhadap kaum perempuan di Indonesia, khususnya dalam masyarakat Jawa, terutama sekali dilihat dari makna-makna kata yang diberikan untuk menunjuk kaum perempuan. Secara sistematis pada awal tulisan ini ditunjukkan makna-makna kata yang dipakai untuk menunjuk kaum perempuan, dilanjutkan beberapa pertanyaan tentang kesetaraan dalam kata-kata yang dipakai tersebut, dan perbandingan makna-makna yang sama dari bahasa lain.
Dalam bahasa Jawa, kaum Hawa diberi sebutan dengan istilah-istilah wadon, wanita, estri, dan putri. Keempat istilah itu diberikan kepada manusia yang tidak berpenis atas dasar peran dan kedudukan mereka.
Wadon, kata wadon berasal dari kata bahasa Kawi, yaitu wadu[3]. Secara harafiah kata ini berarti kawula atau abdi. Istilah ini mempunyai maksud bahwa perempuan “dititahkan” di dunia ini ditakdirkan sebagai sang gurulaki (pelayan suami). Bahkan dalam konteks kebudayaan Hindu lama, eksistensi kaum Hawa sebagai Abdi harus dijalani secara tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Artinya kewajiban perempuan mengabdi kepada suami tidak terbatas di dunia nyata saja, tetapi harus sampai di akhirat. Hal tersebut mengandung konsekuensi logis bahwa jika sang suami meninggal, sang istri harus melanjutkaan pengabdiannya di alam kubur dan begitu pula seterusnya. Disinilah nampak jelas konsep belapati dan pepatah swarga nunut, neraka katut (ke surga turut, ke neraka ikut) yang diperuntukkan kepada kaum perempuan.
Wanita, kata wanita berasal dari gabungan kata wani (berani) dan tata (teratur). Kata bentukan ini mengandung dua arti, wani ditata (berani diatur) dan wani nata (berani mengatur). Sebutan wani ditata mengandung maksud bahwa perempuan harus tetap tunduk kepada sang guru laki, sedangkan kata wani nata mempunyai maksud bahwa perempuan sebagai ibu rumah tangga harus bertanggung jawab atas pendidikan anak dan pengaturan kesejahteraan, kesehatan, dan kerapian keluarga.
Estri, kata estri lahir dari kata estren, dalam bahasa Kawi yang berarti panjurung (pendorong)[4]. Dari kata estren terbentuklah kata hangestreni yang berarti mendorong. Berarti sebutan estri pada perempuan mengandung konsekuensi bahwa seorang istri harus mampu mendorong suami, membantu memberikan pertimbangan-pertimbangan, terutama saat suami sedang lemah. Di sinilah perempuaan diberi kesempatan untuk mengatur suami. Dalam kenyataannya hal itu jarang terjadi, bahkan perempuan lebih banyak harus mengamini apa yang harus dilakukan suami.
Putri, kata putri berarti anak perempuan. Dalam dunia pendidikan tradisional Jawa, kata ini sering diucapkan sebagai singkatan dari kata putus tri perkawis yang lebih menunjuk pada berakhirnya kedudukan perempuan[5]. Dalam kedudukannya sebagai putri, perempuan dituntut untuk mewujudkan kewajibannya baik dalam kedudukannya sebagai wadon, wanita maupun estri.
Kalau istilah-istilah perempuan tersebut kita perhatikan secara teliti, ternyata tidak ada satupun yang mendudukan kaum perempuan sejajar dengan kaum pria. Dari sebutan-sebutan itu, kita dapat mengetahui betapa tidak adilnya perlakuan terhadap perempuan.
Begitu juga dalam bahasa Indonesia, terdapat istilah yang kita kenal dengan sebutan “wanita tuna susila” (WTS). Seperti kita ketahui, pelacuran merupakan kegiatan yang paling sedikit melibatkan dua pihak. Pihak pertama, perempuan yang melacurkan diri dan pihak kedua, yaitu pria yang memanfaatkan jasa tersebut. Disamping kedua pihak diatas, masih ada pihak ketiga yang kita kenal dengan sebutan germo. Yang menjadi permasalahannya adalah, mengapa pelacur disebut wanita tuna susila, tetapi pria yang memanfaatkan jasa pelacuran dan germo (entah pria atau wanita) tidak memperoleh sebutan tuna susila? Padahal kita tahu bahwa pelacuran tidak akan terjadi apabila tidak ada pria yang bobrok susilanya. Juga mengapa tidak muncul istilah “pria tuna susila” untuk menyebut gigolo? Itulah sekedar contoh penggunaan istilah bahasa yang menyudutkan perempuan dan mendudukkannya dibawah kaum lelaki.
Bahasa Indonesia yang kita gunakan sekarang merupakan serapan dari beberapa kata dari beberapa bahasa daerah dan bahasa asing. Dari bahasa daerah, salah satunya adalah bahasa Jawa. Istilah wanita, istri,dan  putri, dalam hal ini adalah kata serapan dari bahasa Jawa yang disebutkan di atas. Meskipun kata-kata tersebut dalam Bahasa Indonesia bisa dimaknai sebagai sesuatu yang tidak mendiskriminasikan kaum perempuan. Tetapi, arti dari kata-kata tersebut harus dimengerti sesuai konteks awalnya, dalam hal ini konteks bahasa Jawa.
Bahasa Indonesia juga mengambil istilah dari bahasa asing yang dalam penggunaannya secara tidak langsung mendiskriminasikan kaum perempuan. Misalnya, istilah-istilah yang tidak mempunyai pasangan feminimnya, seperti kata dermawan, cendekiawan, budayawan, dan sastrawan. Mengapa tidak ada dermawati, cendekiawati, budayawati, dan sastrawati? Mungkinkah hal itu terjadi karena anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan tidak mampu bernalar dengan baik?
Hal ini rupanya mendorong kaum feminis Indonesia untuk kembali menggunakan kata perempuan daripada wanita. Seperti diketahui bahwa kata perempuan berasal dari kata empu, yang berarti seseorang yang ahli atau luhur. Penggunaan istilah ini dimaksudkan untuk mengangkat derajat kaum Hawa menjadi sederajat dengan kaum Adam.
Menarik jika kita coba untuk membandingkannya dengan bahasa lain, seperti bahasa Inggris, Thai, dan Jepang. Dalam bahasa Inggris, penggunaan kata ganti orang ketiga mengharuskan adanya pembedaan: he/his/him (jantan) atau she/her/hers (betina). Dalam bahasa Indonesia kita menyebutnya dia, yang tidak terbedakan. Kita lebih menekankan perbedaan usia dalam menyebut saudara sekandung: kakak/adik. Berbeda dengan bahasa Inggris yang lebih menekankan perbedaan jenis kelamin: brother/sister.
Dalam bahasa-bahasa Eropa pembedaan jenis kelamin diberlakukan kepada benda-benda yang dibicarakan manusia, diantaranya Tuhan (berjenis kelamin jantan), negara (betina). Dalam sejumlah bahasa Asia, pembedaan jenis kelamin bukan pada benda yang dibicarakan, melainkan pada orang yang membicarakannya. Dalam bahasa Thai misalnya, ungkapan terima kasih diucapkan secara berbeda menurut jenis kelamin yang mengungkapkannya. Jika jantan, ungkapannya berbunyi khop khun krab, jika betina, ungkapannya berbunyi, khop khun kob. Di sana kaum jantan bertutur phon untuk mengatakan saya, sedangkan yang betina mengatakan chan.
Dalam bahasa Jepang, wanita mengatakan o-mizu, sedangkan pria mengatakan mizu untuk benda yang kita sebut air. Jika dalam bahasa Indonesia pria dan wanita bisa mengatakan lezat, di Jepang yang pria mengatakan oishi dan wanita mengatakan umai. Walau tidak persis sama kerumitan bahasa semcam ini bisa kita jumpai dalam bahasa Jawa yang bertingkat-tingkat (ngoko-krama-krama inggil), sehingga realitas tidak pernah bersifat obyektif ‘apa adanya’, obyek mempunyai nama yang berbeda-beda, tergantung pada siapa yang mengatakan dan kepada siapa dikatakan[6].
Semua ini menunjukkan bagaimana bahasa tidak sekedar menggambarkan realitas dunia, tetapi menciptakan tatanan dalam dunia. Dalam konteks budaya Jawa sendiri, hal ini mulai dikritisi sejak masa Ibu Kartini, meskipun belum mencapai perubahan yang mendasar, terutama dalam bahasa. Tidak bisa dipungkiri bahwa bahasa sebagai sebuah produk kebudayaan tidak mungkin diubah dan diganti dengan mudah. Penggunaan kata perempuan seperti yang dianjurkan oleh kaum feminis Indonesia dewasa ini, dirasa cukup mewakili arah perubahan yang diinginkan. Tentu saja hal ini tidak cukup, karena dibutuhkan perubahan sikap mental yang mendasarinya.
Hubungan yang saling berkaitan antara pikiran dan bahasa, memperjelas bahwa bahasa bukan hanya suatu sarana untuk mengungkapkan kebenaran yang sudah dipastikan, tetapi lebih jauh lagi merupakan sarana untuk menemukan suatu kebenaran yang sebelumnya belum diketahui. Kekerasan dalam rumah tangga, penggunaan istilah-istilah yang menyudutkan, pembagian kerja yang tidak adil, hendaknya bisa berkurang, bahkan tidak ada lagi sama sekali, seiring pengertian dan pemahaman masyarakat pada umumnya bahwa pola pikir dan sikap terhadap perempuan selama ini hanya sebuah produk kebudayaan, dan bukan sesuatu yang natura. Tentunya hal ini diharapkan tidak hanya berlaku dalam masyarakat Jawa saja, tetapi juga di seluruh masyarakat sebagai sebuah produk dan pelestari kebudayaan.

DAFTAR PUSTAKA


Balai Sastra Yogyakarta, Kamus Besar Bahasa Jawa, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Heryanto, Ariel , Seks dan Mitos Barat Timur, dalam Mardimin (ed), Jangan Tangisi Tradisi, Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Mardimin, Johanes (ed), Dimensi Kritis Proses Pembangunan di Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Sudarminta, J, Epistemologi Dasar, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Sudaryanto dan Pranowo (eds), Kamus Pepak Basa Jawa, Yogyakarta: Badan Pekerja Konggres Bahasa Jawa , 2001.


 



[1] Sudarminta, Epistemologi Dasar, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 42
[2] Ibid.
[3] Balai Sastra Yogyakarta, Kamus Besar Bahasa Jawa, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
[4] Sudaryanto dan Pranowo (eds), Kamus Pepak Basa Jawa, Yogyakarta: Badan Pekerja Konggres Bahasa Jawa , 2001
[5] Ibid.
[6] Ariel Heryanto, Seks dan Mitos Barat Timur, dalam Mardimin (ed), Jangan Tangisi Tradisi, Yogyakarta: Kanisius, 1994. hlm 141

Tidak ada komentar:

Posting Komentar