Selasa, 16 November 2010

HABITUS BARU DALAM PENDEKATAN SOSIO- EKONOMI

1. Pendahuluan
Wajah manusia yang begitu mulia, kini begitu buruk dihadapan Allah. Kemiskinan dan ketidakadilan adalah penyebabnya. Kemiskinan dan ketidakadilan belum juga teratasi. Kebijakan ekonomi pemerintah untuk mengangkat mereka yang miskin dan menjadi korban ketidakadilan ke tempat yang lebih mulia belum terwujud. Keprihatinan terhadap kondisi masyarakat Indonesia itu, mendapat tanggapan dari pihak gereja Indonesia. Gereja mengusulkan suatu pemikiran baru yaitu habitus baru yang berkeadilan, keadilan bagi semua melalui pendekatan sosio-ekonomi.
Indonesia adalah sebuah rumah tangga yang berisi lebih dari 200 juta penduduk. Penduduk Indonesia menghuni wilayah yang luas, dengan letak yang strategis dan kekayaan alam yang melimpah. Tetapi apa yang terjadi dengan kehidupan bersama Bangsa Indonesia?. Kebijakan ekonomi sering salah langkah dan salah arah. Bukan kesejahteraan dan keadilan yang dicapai, melainkan justru kemiskinan penduduk dan ketidakadilan yang diciptakan.
2. Pandangan Penulis
Kondisi Bangsa Indonesia yang memprihatinkan dari sudut pandang sosio-ekonomi ditandai dengan kesenjangan yang sangat tajam, antara pemilik modal/majikan dengan para pekerja/buruh, antara mereka yang kaya dengan orang yang miskin. Menurut penulis, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1.      Komersialisasi yang semakin meluas.
Transaksi perdagangan selalu melalui mekanisme pasar. Mekanisme pasar diterapkan untuk produksi barang dan jasa, begitu pula dengan distribusinya. Meskipun demikian, produksi barang dan jasa tidak untuk semua orang, melainkan hanya untuk kelompok tertentu saja, yaitu untuk mereka yang kaya. Sementara mereka yang miskin tidak memperoleh apa-apa. Yang lebih menggelisahkan lagi, mekanisme pasar diterapkan di seluruh bidang kehidupan. Tidak hanya untuk produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa saja yang dikomersialkan, melainkan juga pendidikan, kesehatan, dan air bersih, sebagai syarat kebutuhan hidup yang layak juga dikomersialkan. Orang yang memiliki uang menjadi lebih berhak untuk memiliki dan menggunakan barang dan jasa. Sedangkan orang yang tidak memiliki uang, tidak dapat berbuat apa-apa, selain hanya berpangku tangan meratapi ketidakberdayaan mereka
2. Masalah kebijakan publik
Di negara mana pun dan dalam sistem ekonomi apa pun, pemerintah memegang kendali dalam tata perekonomian. Tugas pemerintah mengkoordinasikan, mengatur, dan mengendalikan mekanisme ekonomi agar berjalan dengan harmonis, sehingga tercapai kesejahteraan bersama. Untuk mencapainya, pemerintah harus menjalankan kebijakan publik. Namun sangat disayangkan bahwa  kebijakan publik justru menyebabkan rakyat menjadi sengsara. Mereka yang miskin terpaksa menanggung akibat-akibat yang ditimbulkan dari kebijakan publik yang tidak pro-rakyat dan pro-kesejahteraan.
  1. Ciri mendua dari globalisasi.
Globalisasi memang memberikan harapan dan janji-janji akan kesejahteraan. Tetapi apa yang terjadi. Globalisasi menimbulkan dampak-dampak baru. Berbagai kemudahan sebagai hasil dari globalisasi hanya dinikmati oleh mereka yang memiliki uang atau memiliki daya beli. Sementara yang miskin menjadi pihak yang paling rentan terkena dampaknya karena mereka memiliki daya beli yang rendah.  
Dr. Mansour Fakih, dalam tulisannya tentang “Agama dan proses demokratisasi Indonesia” mengatakan bahwa situasi di Indonesia seperti yang telah penulis paparkan di atas, merupakan dampak dari kapitalisme barat yang dikembangkan melalui paham “Developmentalism”. Sistem pembangunan kapitalis melestarikan struktur terpisahnya majikan dan pegawai/buruh. Dalam strata masyarakat pun, pemisahan ini mendapat pengaruh yang besar. Berapa pun besarnya upah seorang buruh, ia tak akan pernah sama posisinya dengan majikan/ pemilik modal. Buruh tetap diexploitasi  dan dimanfaatkan sebagai obyek. Ketika situasi seperti ini, maka menurut Mansour Fakih, inilah letak ketidakadilan.
Menanggapi situasi ketidakadilan seperti ini, Dr. Mansour Fakih mengatakan bahwa untuk melepaskan diri dari belenggu positivisme rasional, kita harus mencari pendekatan paradigma ilmu baru. Ilmu baru itu menurutnya antara lain, Instrumental knowledge (Pengetahuan untuk menaklukkan obyek), Interpretative knowledge(Pengetahuan dipakai untuk mengerti obyek), dan Emancipatory knowledge(Pengetahuan dipakai untuk membudidayakan manusia, membebaskan manusia dari ketidakadilan). Beliau juga menyerukan agar agama sebagai wadah masyarakat juga harus berperan aktif dalam membebaskan masyarakat dari belenggu kapitalisme ini. Untuk menciptakan demokrasi yang berkeadilan, agama harus mulai menggalakkan seruan teologi pembebasan. Hal ini bercermin pada pengalaman Gereja di Amerika latin yang melakukan revolusi melawan ketidakadilan yang diciptakan oleh pemerintah serta kaum kapitalis. Namun penulis melihat bahwa model teologi pembebasan yang diterapkan oleh Amerika Latin dalam bentuk revolusi berdarah tidak perlu diterapkan di Indonesia. Pembebasan yang perlu kita lakukan adalah melalui jalan reformasi. Reformasi khususnya dalam bidang sosio-ekonomi. Karena inilah sebab utama dari ketidakadilan di negara kita. Untuk mewujudkan reformasi ini, penulis mengusulkan beberapa langkah konkrit yang perlu dilakukan oleh kita sebagai warga gereja.  
3. Saran Penulis
Sebagai anggota Gereja yang peduli terhadap situasi masyarakat dan negara, penulis mengusulkan beberapa pemikiran untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari bersama masyarakat, guna mewujudkan habitus baru yang bebas dari belenggu kapitalisme, maka langkah yang utama yang harus dijalankan adalah:
1.      Mengingat kaum muda adalah generasi penerus bangsa, maka harus memberi pengarahan dan pengertian kepada generasi muda bahwa pentingnya menjalani kehidupan bersama yang harmonis, tanpa menjadikan diri sebagai raja dan orang lain sebagai budak.
2.       Pemberdayaan potensi dan energi kaum miskin dan lemah dengan melibatkan kaum cendikiawan untuk menemukan cara-cara tata kelola kehidupan ekonomi yang benar-benar mewujudkan kesejahteraan bersama.
3.      Mendesak pemerintah dan pelaku ekonomi besar untuk terlibat secara aktif dalam mewujudkan kesejahteraan bersama, dengan memberikan perhatian khusus kepada kaum miskin dan lemah, tanpa membuat kaum miskin dan lemah menjadi tergantung.
Penting untuk diperhatikan bahwa tiga gerakan di atas perlu didorong oleh keprihatinan yang dilandasi semangat iman, harapan, dan cinta kasih, bukan atas dorongan rasa benci. Lawan dari cinta bukanlah kebencian, melainkan ketidakpedulian. Ketidakpedulian kita terhadap mereka yang miskin dan menjadi korban ketidakadilan adalah lawan sesungguhnya dari cinta. Sebagai suatu gerakan, tidak cukup dilakukan sekali saja, melainkan dilakukan secara terus menerus melalui proses aksi dan refleksi. Asas kesejahteraan bersama menjadi prinsip penyusunan, pelaksanaan, dan evaluasi diharapkan terus berkembang dan dilakukan secara terus menerus sebagai suatu habitus baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar