Selasa, 16 November 2010

LEGALISASI KEKERASAN DALAM AGAMA

1. Pendahuluan
Bila berbicara tentang agama, maka persoalan yang kita hadapi adalah persoalan relasi antara manusia dengan Sang Pencipta. Santo Agustinus dalam confessiones mengatakan bahwa relasi manusia dengan Tuhan adalah relasi subyek dengan obyek. Tuhan sebagai Sang Agung dan Maha Besar adalah obyek yang pantas untuk dipuji, diagungkan, dan dimuliakan. Manusia sebagai subyek adalah partikel kecil yang memuji dan mengagungkan Sang Agung tersebut. Relasi yang tercipta antar pemuja dengan yang dipuja adalah relasi transendental.[1] Berangkat dari pemikiran Agustinus, penulis melihat bahwa keberadaan agama memungkinkan manusia memiliki relasi cinta yang intim dengan Tuhan, sebab Ia dikenal sebagai pribadi yang memiliki kesempurnaan cinta. Dengan demikian, konsekuensi dari relasi cinta yang terjadi antara Allah dengan manusia adalah cinta horisontal antar sesama manusia sebagai subyek yang sama-sama menyembah Tuhan. Namun, bila kita melihat realitas kehidupan manusia dewasa ini, kita dapat berargumen bahwa agama menjadi salah satu sumber permasalahan dan kekerasan terhadap manusia lain. Hal mendasar yang menjadi pertanyaan penulis adalah, benarkah agama sebagai pembawa kedamaian dan cinta bagi sesama? Faktor apakah yang mengakibatkan kekerasan terjadi dalam agama?

2. Kekerasan dan Fenomenanya
Kekerasan yang terjadi dalam kehidupan bersama senantiasa identik dengan kejahatan. Kekerasan yang dimaksud bukan sekedar perbuatan tidak baik yang keluar dari hati manusia yang amburadul, tetapi inti keras dan jahat dalam perbuatan-perbuatan itu. Dalam buku Filsafat Dalam Masa Teror, Derrida mengatakan bahwa kekerasan tidak dapat dilawan dengan tindakan kekerasan,  karena hal ini hanya akan menciptakan kekerasan lain yang tidak akan pernah berhenti.[2] Kekerasan bukan sekedar kelemahan seseorang, sehingga ia mengikuti nafsu atau emosinya. Kekerasan yang dimaksudkan lebih pada sikap jahat yang sungguh-sungguh menolak tarikan dan tawaran hati nurani. Kekerasan dalam bahasa agama disebut “dosa”. Kita tahu bahwa Allah adalah Yang Maha Suci dan membenci kejahatan, namun mengapa Ia tidak mencegah adanya kejahatan? Apakah Allah lemah dan tak berdaya, ataukah Ia tak mau mencegahnya? Allah “tega” bila Ia sanggup mencegah kejahatan, tetapi justru membiarkan kejahatan terjadi. Benarkah demikian? Tidak! Kejahatan terletak dalam kehendak seseorang yang tidak mau bersikap baik. Kejahatan terjadi atas dasar kehendak bebas manusia untuk berbuat secara tahu dan mau.[3]

3. Fundamentalisme Dalam Agama
Fundamentalisme agama dapat dikatakan sebagai salah satu ekspresi agama yang paling memukau dalam dunia dewasa ini. Dalam situasi ini, agama sedang berperang melawan musuh-musuh rohani yang dilihatnya sebagai kekuatan kosmis yang berniat menghancurkan sendi-sendi agama tersebut. Para penganut setia agama bersedia berperang dalam nama Tuhan, dan tak seorangpun tahu kapan mereka akan berhenti berperang.[4] Dalam nofel Lajja yang ditulis oleh Taslima Nasrin, mengatakan bahwa "Biarlah agama berganti nama menjadi kemanusiaan”. Novel ini berkisah tentang 13 hari kehidupan keluarga Hindu yang diteror dan dicekam ketakutan oleh kaum fundamentalis di Banglades yang ingin membalas pembakaran Masjid Babri di Ayodhya, India oleh fundamentalis Hindu.[5] Penulis novel ini terlihat ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa fundamentalisme dapat menjadi sesuatu yang mengerikan, entah dari agama mana pun. Ironisnya, semua agama menunjuk pada satu tujuan yang sama dan mulia, yakni Perdamaian. Tetapi, atas nama agama pula telah terjadi banyak tindak kekerasan. Telah banyak darah yang mengalir dari orang tak bersalah yang mengalami penderitaan dan kematian. Benar-benar sebuah kemalangan, bahwa di abad ke dua puluh kita masih menyaksikan kekejian seperti ini. Semua dilakukan atas nama agama. Mengibarkan bendera agama merupakan cara yang paling mudah untuk menghancurkan roh kemanusiaan.
 Inti dari kehidupan beragama adalah penghayatan hubungan manusia dengan Allah. Penghayatan ini secara psikologis membawa manusia ke dalam pengalaman transendental, pengalaman yang mengatasi dunia realnya sendiri. Pengalaman transendental, secara psikologis membawa manusia pada paham fundamental tentang agamanya. Selama nilai fundamental tersebut memperdalam penghayatan iman seseorang terhadap agamanya dan tidak mengganggu eksistensi orang lain, maka hal itu termasuk dalam taraf positif. Namun tidak dapat disangsikan bahwa fundamentalisme agama akhir-akhir ini justru menimbulkan berbagai macam problem.

4. Fanatisme Agama
Fanatisme agama dapat dikatakan sebagai efek samping dari fundamentalis agama. Pengalaman transendental yang dialami oleh seseorang, berpotensi membawa ia kepada suatu pemahaman yang keliru tentang agamanya, dan lebih lagi kepada orang lain yang berbeda agama. Dengan demikian orang tersebut akan menganggap bahwa agamanya sebagai daerah suci (Fanum). Ia akan sampai pada sikap meyakini bahwa agamanya adalah suci, berasal dari Allah, dan harus menggantikan semua agama.[6] Orang yang berbeda agama dianggapnya sebagai kafir, dan harus ditobatkan atau lebih tragis lagi adalah dibasmi. Fanatisme mengkondisikan orang untuk bersikap tertutup dan sulit berkomunikasi dengan orang lain. Mereka berpegang pada otoritas yang jelas dan tidak dapat dipertanyakan keotoritasan tersebut. Mereka memiliki konsep bahwa jika suatu hal cocok dengan otoritas tersebut, maka dianggap sebagai kebenaran, dan jika tidak sesuai dengan otoritas yang ada, maka hal tersebut dinyatakan sebagai dosa atau kesalahan.[7]




5. Sentimen Agama
Berdasarkan pengalaman trensendental, orang terbawa ke dalam situasi di mana ia merasa dirinya terikat pada agama, sehingga hatinya seakan menjadi satu dengan agama. Orang akan merasa wajib membela agama dengan memandang agama lain sebagai ancaman bagi agamanya. Oleh karena itu, orang lain yang berbeda agama perlu dicurigai. Karena dikuasai oleh sentimen agama, orang menjadi sangat peka dan mudah tersinggung bila agamanya dihina.
Penulis melihat bahwa fanatisme dan sentimen agama justru mendorong penganut agama untuk berpikir, bersikap, dan bertindak tidak adil, bahkan sering kali tidak berperikemanusiaan. Sebagai contoh real agama seakan “menspiritualkan” kekerasan, dapat kita lihat dalam realitas yang terjadi akhir-akhir ini:

Seorang pemuda anggota Hamas tampil meringis di depan kamera di hari sebelum menjadi syahid dalam operasi bunuh diri Hamas, ia menyatakan bahwa dirinya     “melakukan aksi tersebut demi Allah”. Dia menunjukkan salah satu bukti luar biasa tentang orang-orang yang melakukan aksi-aksi terorisme dunia kontemporer: pada dasarnya mereka bersedia melakukan semua itu jika mereka merasa dibenarkan  oleh wahyu ilahi atau sesuai dengan pandangan Tuhan[8]

Sejarah umat manusia mencatat bahwa hingga saat ini masih terjadi penindasan serta pembunuhan manusia atas nama Allah, dengan keyakinan akan mendapat pahala. Penganut agama yang fundamentalis akan lebih sewenang-wenang dan berlaku tidak adil, apabila fanatisme dan sentimen agama didukung oleh posisi sebagai mayoritas. Kelompok mayoritas memiliki perasaan berhak menerima lebih daripada golongan lain, berhak menentukan nasib golongan lain, serta berhak menentukan jalannya kehidupan bersama.

6. Toleransi sebagai Solusi
Toleransi adalah sebuah wacana yang dikemukakan oleh pihak yang menghendaki terciptanya kedamaian. Harus diakui bahwa tidak mudah menjalankan toleransi, terutama di Indonesia yang sangat beragam suku, adat, budaya, agama, pendatang dan pribumi. Tetapi kita harus yakin bahwa dengan adanya komunikasi dan dialog antar agama yang terbuka, semua bentuk kekerasan atas nama agama dapat kita atasi. Derrida menganjurkan adanya kesanggrahan tanpa syarat dan sikap toleransi, Sehingga dapat membuka jalan menuju kedamaian.
Paus Benedictus XVI dalam sebuah wawancara dengan wartawan Italia mngatakan tentang pentingnya sikap toleransi antar agama. Ia menegaskan bahwa dialog antar agama hanya dapat terjadi apabila masing-masing pihak sungguh meyakini imannya. Sebab ajaran agama manapun selalu mengajarkan kebaikan, cinta dan kasih, bukan kekerasan. Di sini terlihat keyakinan Paus Benedictus XVI, bahwa dialog antar-agama tidak boleh jatuh menjadi suatu sikap yang mengagungkan "relativisme iman". Dalam konteks dialog antar-agama, sebuah sikap yang diharapkan muncul adalah sikap "toleransi". Toleransi adalah sikap yang memperlihatkan kesediaan tulus untuk mengangkat, memikul, menopang bersama perbedaan yang ada antara satu agama dan agama lain. [9]

7. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa berbagai macam tindakan anarkis serta kekerasan yang terjadi pada jaman ini, adalah murni ketidakpahaman manusia dalam menghayati ajaran agama yang dianutnya. Kekerasan bukan merupakan sebuah tawaran yang bijak untuk menyikapi polarisasi dunia akibat tamparan hebat modernitas. Semua agama memiliki banyak kerangka pemikiran untuk mewujudkan perdamaian di muka bumi. Hanya saja, eksplorasi atas makna-makna perdamaian dalam agama telah dicemari oleh beberapa perilaku kekerasan oleh gerakan radikal. Menjadi tugas bagi para tokoh agama untuk menawarkan solusi atas kekerasan ini agar ada pernyataan bahwa kekerasan bukanlah ajaran agama manapun. Fakta beberapa oknum pelaku pengeboman atau terorisme yang dilakukan oleh kelompok agama tertentu memang bisa saja dibenarkan, namun apakah agama memiliki ciri khas seperti itu? Tidak. Apa yang dilakukan oleh gerakan kaum fundamental sudah mengandung kompleksitas kondisional. Artinya, dengan tameng agama, apa yang mereka lakukan juga merupakan penyertaan pada sisi politis, ideologis, dan kepentingan non agama yang melingkupi aksi mereka.

























DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Winarsih dan Dr. Th. Van den End. Pengakuan-pengakuan Augustinus. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Borradori. Giovanna. Filsafat Dalam Masa Teror. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005.
http://kulagui.blogspot.com/2005/04/ratzinger-dan-relativisme-iman.html(Akses15 November 2007)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406.19/pustaka/1093797.htm(Akses14 November 2007)
Juergens, Meyer, Mark. Terorisme Para Pembela Agama, Yogyakarta:Tarawang Press, 2003.
Magni-Suseno, Franz. Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Sinaga L. Martin, Rumadi Trisno S. Sutanto. Bincang Tentang Agama di Udara. Jakarta: Madia, 2005
Wiryotenoyo, Semedi Broto, Ketidakadilan, Kemiskinan, dan Agama, dalam Dimensi Kritis Proses pembangunan di Indonesia, Yogyakarta: Kanisius. 1996.





[1] Bdk. Ny. Winarsih Arifin dan Dr. Th. Van den End. Pengakuan-pengakuan Augustinus. Yogyakarta. Kanisius. 1997. hlm. 414.
[2] Giovanna Borradori. Filsafat Dalam Masa Teror. Jakarta. Penerbit Buku Kompas. 2005. hlm. 147.
[3] Bdk. Franz Magni-Suseno. Menalar Tuhan. Yogyakarta. 2006. hlm. 218
[4] Martin L. Sinaga, Rumadi Trisno S. Sutanto. Bincang Tentang Agama di Udara. Jakarta: Madia.2005. hlm. 1.
[6] Broto semedi wiryotenoyo, Ketidakadilan, Kemiskinan, dan Agama, dalam Dimensi Kritis Proses pembangunan di Indonesia, Yogyakarta: Kanisius. 1996. hlm.67.
[7] Martin L. Sinaga, Rumadi Trisno S. Sutanto. Opcit. hlm. 26
[8] Mark Juergens Meyer, Terorisme Para Pembela Agama, Yogyakarta:Tarawang Press, 2003. hlm. 325

9http://kulagui.blogspot.com/2005/04/ratzinger-dan-relativisme-iman.html (Akses 15 November 2007)


1 komentar:

  1. Harrah's Casino & Resort - Hollywood, LA - JT Hub
    Harrah's 보령 출장안마 is 양산 출장안마 a casino 태백 출장안마 in southern California. The casino features a large, 동해 출장샵 five-room, five-story 청주 출장샵 hotel, two luxury-style pools,

    BalasHapus