Selasa, 16 November 2010

KEKERASAN DALAM KELUARGA SEBAGAI PELANGGARAN NILAI MORAL FUNDAMENTAL (Dalam Tinjauan Moral Katolik)

1. Pendahuluan
Sejak awal penciptaan, manusia telah diciptakan sebagai pria dan wanita menurut gambar dan citra Allah ( Kej 1:26-27). Penciptaan ini sebagai sebuah peristiwa penting dan menjadi puncak dari segala ciptaan. Dalam kitab Kejadian bab 2:18-25 Allah berfirman “ Tidak baik bahwa manusia itu sendiri saja. Aku akan menjadikan seorang penolong baginya, yang sepadan dengan dia… … Seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya menjadi satu daging.” Ayat ini jelas mengatakan bahwa tidak baik jika manusia itu seorang diri saja. Manusia dari kodratnya sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain, oleh sebab itu ia perlu bersatu dan membentuk satu keluarga dan di antara keduanya menjadi satu daging.[1] Gagasan satu daging bersifat antropologis, artinya bukan hanya jasmani, melainkan juga personal, sehati-sejiwa. Hal ini memberi gambaran bahwa penciptaan pria dan wanita sebagai suatu nilai yang tinggi, sehingga pria berani meninggalkan orang tuanya untuk membentuk persekutuan hidup baru dengan isterinya dan mendidik anak-anaknya.
Gagasan di atas lebih merupakan sebuah idealisme dalam menciptakan sebuah keluarga yang damai, aman, sejahtera dan bahagia. Realitas yang dialami oleh keluarga-keluarga jaman sekarang adalah munculnya fenomena “kekerasan dalam keluarga”. Menjadi sebuah pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab adalah mengapa terjadi kekerasan dalam keluarga? Dalam memaparkan tulisan ini, penulis mencoba mengangkat kembali kasus kekerasan yang pernah menjadi topik utama dalam surat kabar dan selalu diperbincangkan oleh publik. Tindak kekerasan itu adalah kasus penyiraman air keras yang dilakukan oleh Mulyono kepada Lisa yang tidak lain adalah isterinya sendiri. Penulis melihat bahwa realitas ini sulit untuk dipahami, sebab sebagai anggota keluarga seharusnya mereka saling mengasihi, mencintai, dan melindungi. Dalam pemaparan paper ini, penulis mencoba menggali sebab terjadinya tindak kekerasan dalam keluarga sebagai pelanggaran terhadap nilai moral fundamental dalam perspektif moral Katolik.

2. Definisi Keluarga
Keluarga adalah suatu persekutuan insani yang paling mendasar. Keluarga adalah tempat di mana pribadi manusia dapat berkembang dengan sehat secara jasmani dan rohani, entah dalam kehidupan moral maupun religius. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa “keselamatan pribadi maupun masyarakat manusiawi dan kristiani erat berhubungan dengan kesejahteraan rukun perkawinan dan keluarga”.[2] Keluarga merupakan bagian dari masyarakat total yang lahir dan berada di dalamnya, yang secara berangsur-angsur melepaskan ciri-ciri pertumbuhan ke arah kedewasaan. Keluarga sebagai organisasi memiliki perbedaan dari organisasi lain, serta memiliki arti yang lebih mendalam. Salah satu perbedaan yang cukup penting terlihat dari bentuk hubungan anggota-anggotanya yang lebih bersifat “gemeinschaft” yang memiliki ciri-ciri primer. Ciri-ciri primer itu seperti hubungan yang lebih intim, kooperatif, face to face. Ciri lainnya adalah masing-masing anggota memperlakukan anggota keluarga lainnya sebagai tujuan, bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan.[3] Memposisikan anggota keluarga sebagai tujuan memungkinkan terciptanya situasi keluarga yang bahagia, harmonis dan pengertian.

2.1. Hakikat dan Fungsi Keluarga[4]
Keluarga merupakan persekutuan orangtua dan anak. Kebutuhan dan keterikatan anak, kasih sayang dan usaha-usaha alami dari orangtua, serta ikatan darah dengan semua kerabat secara badani dan rohani, membuktikan bahwa keluarga merupakan lembaga sosial alami. Sebagai lembaga sosial alami, keluarga memiliki fungsi yang dibedakan atas tiga macam, yakni sebagai satuan ekonomi dasar, sebagai satuan pendidikan dasar, dan sebagai persekutuan spiritual dasar bagi manusia.
Sebagai satuan ekonomi, keluarga menyediakan kebutuhan sehari-hari seperti makanan, perumahan, dan pakayan. Semua anggota keluarga, memiliki kewajiban untuk memberikan sumbangan yang bertujuan membangun komunitas keluarga, entah dalam bentuk materi ataupun non materi. Sangatlah penting sebelum seseorang memasuki jenjang pernikahan, terlebih dahulu harus memperoleh pembekalan dalam hal pengolahan rumah tangga yang tepat dalam keluarganya. Sejak berada dalam pangkuan keluarganya, mereka perlu belajar melaksanakan rupa-rupa kebajikan, seperti kerajinan, hidup hemat dan kepedulian terhadap rumah.
Sebagai satuan pendidikan, keluarga sangat membantu perkembangan intelektual dan moral pribadi manusia. Melalui keluarga, anak-anak menerima pengetahuan, cinta kasih dan pemahaman tentang dunia di sekitar mereka. Seorang manusia memperoleh pengetahuan tentang menaati dan memberi perintah, supaya ia sanggup menjadi pribadi yang mampu memimpin dan dipimpin.  Demikia juga, sebagai persekutuan spiritual dasar bagi manusia, keluarga membantu anak-anak untuk memiliki rasa belas kasih, kepercayaan, penghormatan, penghargaan, kegembiraan dan dukacita. Dengan demikian, anak-anak diberi bekal untuk menghadapi situasi apapun dalam dunia di mana mereka akan tumbuh dan berkembang sebagai seorang pribadi yang utuh.

2.2. Contoh Kasus Kekerasan Dalam Keluarga
Mulyono Eko 41 tahun, terdakwa pelaku penyiraman air keras terhadap istrinya, Siti Nur Jazilah alias Lisa, dituntut 12 tahun penjara, Kamis (8/2). Jaksa menyatakan tak ada hal yang bisa meringankan terdakwa. Saksi yang berbicara dalam kasus ini mengatakan bahwa Mulyono cemburu dan menuduh Lisa melakukan perselingkuhan. Dalam pembacaan kronologi kejadian, jaksa menguraikan bahwa Mulyono sudah lama merencanakan penyiraman air keras kepada Lisa. Tepatnya sejak Mulyono menjemput Lisa dari Pontianak untuk pulang ke rumahnya di Kabupaten Pasuruan, pada tanggal 23 Desember 2002. Saat tengah menunggu pesawat menuju Jakarta di Bandara Supadio Pontianak, Mulyono sudah menyimpan air keras dalam botol minuman dalam jaket.
Setiba di rumah, keesokan harinya 24 Desember 2002, Lisa langsung tidur dan mengabaikan panggilan Mulyono. Karena kesal panggilannya tidak ditanggapi, Mulyono pun menyiramkan air keras kepada Lisa dan mengenai wajah, leher kanan, dan punggungnya. Namun, kejadian tersebut tak diakui Mulyono. "Bagaimana mungkin bisa naik pesawat bawa air keras?" ujarnya lagi.
Kuasa hukum Lisa, Selvin Laka menyatakan puas dengan tuntutan jaksa. Ia berharap tuntutan 12 tahun itu akan diputuskan oleh hakim. "Jangan sampai turun lagi," ujar Selvin saat hendak mengabarkan tuntutan jaksa kepada Lisa yang masih dirawat di RSUD Dr Soetomo.[5]   

3. Analisis Kasus
Setiap manusia dalam kehidupan ini pasti pernah mengalami kekerasan fisik, ataupun melakukan kekerasan fisik kepada orang lain. Entah itu dalam takaran kekerasan besar atau kecilnya dampak yang dihasilkan. Tindakan kekerasan dalam keluarga yang dilakukan oleh Mulyono terhadap Lisa isterinya merupakan bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai moral. Dikatakan sebagai pelanggaran nilai moral karena peristiwa ini telah direncanakan sebelumnya. Tindakan ini telah memenuhi kriteria pelanggaran moral, sebab dilakukan dengan tahu dan mau. Oleh sebab itu, penulis mencoba menganalisa kasus ini dalam beberapa aspek moral, secara khusus dalam tinjauan moral katolik.

3.1. Pilihan Dasar (Optio Fundamental)
Berhadapan dengan realitas dunia serta berbagai macam tuntutan nilai yang harus dicapai, mau-tidak mau manusia harus menentukan sikapnya. Penentuan sikap hidup ini menjadikan manusia memperoleh orientasi dasar hidup, memilih cara hidup, serta memberi jawaban dan mempertanggungjawabkan pilihannya kepada Allah sebagai penciptanya. Pilihan dasar manusia terjadi dan keluar dari inti lubuk hatinya, dan tertuju kepada Allah.[6] Optio yang mempengaruhi evolusi kepribadian manusia memungkinkan perwujudan kebebasan pribadi yang lebih lengkap. Thomas Aquinas dalam ajarannya mengatakan bahwa optio ini harus diletakkan pada awal hidup seseorang atau mendahului hidup moral seseorang. Tidak dapat disangkal bahwa dalam perjalanan hidupnya, optio yang ditentukan manusia dapat berubah sewaktu-waktu.[7]
Mulyono dan Lisa telah memutuskan untuk menentukan pilihan dasar mereka, yakni perkawinan. Dengan sendirinya, mereka seharusnya memberikan lebih banyak perhatian, waktu dan tenaga untuk pasangan hidup mereka. Perkawinan sebagai pilihan dasar, mengandaikan pula bahwa mereka memiliki kesadaran eksistensi sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Mereka seharusnya memandang perkawinan sebagai salah satu cara untuk mempertanggungjawabkan keberadaan mereka di dunia kepada Allah sebagai pencipta, sebab mereka adalah manusia yang mengakui adanya Tuhan. Sebagaimana telah dikatakan bahwa optio fundamental sewaktu-waktu dapat berubah, hal ini terjadi dalam kehidupan perkawinan Mulyono dan Lisa. Kekerasan yang dilakukan oleh Mulyono terhadap Lisa merupakan bentuk penyangkalan janji yang telah ia ungkapkan dalam perkawinan sebagai pilihan dasar. Kekerasan ini mengindikasikan bahwa Mulyono tidak bertanggungjawab terhadap pilihan dasar yang telah ia buat. Oleh karena tidak bertanggungjawab terhadap pilihan dasar yang telah dipilih secara bebas, maka kekerasan ini dapat dikatakan sebagai tindakan penyangkalan terhadap optio fundamental.

3.2. Tindakan Manusiawi (Actus Humani)
Setiap manusia sejak kelahirannya telah dianugerahi akal budi yang memampukannya melakukan sesuatu serta menilai baik buruknya sesuatu. Berkaitan dengan kodrat akal budi, manusia dihadapkan pada suatu nilai moral yang disebut actus humani atau tindakan manusiawi. Actus humani merupakan perbuatan yang dilakukan manusia, selaku manusia yang tahu dan mau secara bebas, sehingga ia bertanggungjawab atas perbuatannya yang dikuasai itu. Penulis merasa perlu untuk memberikan pembedaan di sini antara tindakan manusiawi ( Actus humani) dengan tindakan manusia ( Actus hominis), agar tidak terjadi kesalahan dalam menilai dan menentukan jenis suatu tindakan. Actus hominis adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, tetapi tidak selaku manusia yang tahu dan mau secara bebas. Artinya bahwa tindakan itu dilakukan tanpa pemikiran atau budi, misalnya orang mabuk, tidur, dalam situasi hipnotis, gila, dilakukan secara terpaksa karena tekanan dari dalam dan luar. [8]
Sebelum peristiwa penyiraman air keras ke wajah Lisa, Mulyono selaku suami telah merencanakan perbuatannya itu. Hal ini dapat dibandingkan dengan hasil penyelidikan jaksa dalam persidangan. “Saat tengah menunggu pesawat menuju Jakarta di Bandara Supadio Pontianak, Mulyono sudah menyimpan air keras dalam botol minuman dalam jaket”. Jelas terlihat bahwa obyek tindakan yang ingin dicapai oleh mulyono adalah merusakkan wajah isterinya. Dengan kapasitasnya sebagai makhluk berakal budi, Mulyono tahu bahwa obyek tindakan yang direncanakannya berdampak buruk bagi isterinya. Ia juga tahu bahwa bahwa dengan melakukan tindakan kekerasan seperti itu, ia melanggar nilai moral dan hukum yang berlaku. Meskipun demikian, ia tetap mau menjalankan rencana penganiayaan terhadap isterinya tersebut.
Tindakan kekerasan yang dilakukan Mulyono terhadap Lisa bisa dituntut pertanggungjawabannya, sebab tindakan kekerasan tersebut dikehendaki dan dilakukan secara tahu dan mau. Pada titik ini, Mulyono sebagai subyek pelaku diandaikan memiliki kesadaran tahu dan mau yang otonom dan pengetahuan yang mencukupi atas apa yang ia lakukan. Ia ingin merusakkan wajah istrinya dengan air keras. Air keras di sini bukanlah obyek tindakan moral. Tindakan merusakkan wajah isterinya adalah tindakan tahu dan mau, sebab tindakan tersebut memang benar-benar disadari dan diketahui secara mencukupi oleh Mulyono sebagai subyek pelaku. Kehendak untuk merusakkan wajah istrinya merupakan aspek penilaian tindakan moral. Maka dari sudut pandang actus humanus, tindakan kekerasan yang dilakukan Mulyono terhadap Lisa sebagai tindakan tahu dan mau. Mulyono dapat dikategorikan sebagai pelanggar nilai moral, dan layak mendapat hukuman yang telah ditetapkan baginya.

3.3. Kehendak Bebas
Dalam kehidupan sehari-hari, kerap kali kita mendengar orang berargumen tentang kebebasan. Dalam media, kita kadang menyaksikan orang melakukan demonstrasi menuntut hak untuk memperoleh kebebasan dalam hidup. Kita juga mengetahui bahwa manusia di dunia itu hidup dalam ruang dan waktu. Hal ini memberi gambaran bahwa ruang lingkup kebebasan manusia terbatas. Manusia secara kodrati tidak dapat menggunakan kebebasan sesuka hatinya, sebab ia memiliki keterbatasan. Menjadi pertanyaan adalah apakah hubungan kehendak bebas sebagai nilai moral dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang bebas? Manusia sebagai makhluk yang bebas berarti manusia memiliki hak untuk menikmati kebebasan itu, tanpa dibatasi oleh manusia lain. Kehendak bebas seseorang terkait dengan tatanan nilai-nilai normatif yang diandaikan oleh manusia pada saat menggunakan kebebasan. Kehendak bebas bukan hanya bebas dari paksaan luar, tetapi juga bebas dari paksaan dalam. Hal ini berarti bahwa kemungkinan untuk mengambil keputusan yang lain dari pada keputusan itu diambil sekarang. Kehendak bebas juga berarti kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat, untuk melakukan hal yang ini atau yang itu.
Kekerasan yang dilakukan Mulyono terhadap Lisa dipengaruhi oleh kehendak bebasnya sebagai manusia. Kehendak bebas yang dimiliki, memungkinkan Mulyono secara bebas membuat keputusan menganiaya isterinya dengan cara menyiramkan air keras pada wajah Lisa. Kehendak bebas pula yang membuat dia merasa mantap untuk tetap berada pada keputusannya melakukan tindak kekerasan. Kehendak bebas berarti bebas dari paksaan luar maupun dalam. Jika pada saat melakukan penganiayaan terhadap isterinya, Mulyono mendapat desakan atau paksaan dari pihak luar, maka Mulyono sebagai subyek pelaku, tidak dapat disebut sebagai pelaku pelanggaran nilai moral. Namun tindakannya disebut sebagai pelanggaran atau kekerasan dalam nilai moral. Tindakan Mulyono dilakukan secara bebas, sebab itu ia dapat  dituntut dan wajib memberikan pertanggungjawabannya.
4.  Kekerasan Dalam Keluarga Dalam Perspektif Moral Katolik
Perkawinan dalam gereja Katolik merupakan suatu ikatan yang suci. Gereja memandang bahwa perkawinan merupakan persekutuan hidup dan kasih suami isteri yang mesra yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukum-Nya. Allah sendiri adalah pencipta perkawinan. Panggilan untuk perkawinan sudah terletak dalam kodrat pria dan wanita, sebagaimana mereka muncul dari tangan pencipta. Perkawinan bukanlah satu institusi manusiawi semata-mata, walaupun dalam peredaran sejarah ia sudah mengalami berbagai macam perubahan sesuai dengan kebidayaan, struktur masyarakat, dan sikap mental yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan tidak boleh membuat kita melupakan ciri-ciri perkawinan yang tetap dan umum.[9]
Berdasarkan konsep perkawinan dalam gereja katolik, penulis melihat bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan Mulyono terhadap Lisa merupakan tindakan mengingkari perkawinan itu sendiri. Mereka telah disatukan dalam perkawinan dan memiliki komitmen serta visi misi yang sama dalam membangun rumah tangga. Namun dalam kenyataannya janji serta komitmen tersebut dilanggar oleh salah satu pihak. Janji tersebut mereka buat untuk diri mereka sendiri, dihadapan sesama sebagai saksi, dan terutama dihadapan Tuhan sebagai pemberi dan tujuan akhir kehidupan.
Memang kita tidak dapat memungkiri bahwa dalam kehidupan keluarga senantiasa terdapat perselisihan. Namun, solusi yang tepat untuk mengatasi perselisihan itu bukanlah dengan kekerasan. Peran suara hati dalam hal ini sangat berperan penting. Dalam kasus ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa suara hati Mulyono telah tumpul. Ia tidak mampu lagi membuat pertimbangan yang bagus antara melakukan atau tidak melakukan sesuatu, ia tidak mampu lagi menilai perbuatan baik dan buruk. Oleh sebab itu, tindakan Mulyono dikategorikan sebagai perbuatan yang mengakibatkan dosa. Dosa terhadap isterinya, dosa terhadap diri sendiri, dan terutama dosa terhadap Tuhan yang menganugerahkan perkawinan sebagai sarana untuk melanjutkan karya penciptaan-Nya dan untuk memuliakan-Nya.

5. Penutup
Pertanyaan mendasar yang ingin penulis munculkan dalam akhir tulisan ini adalah “Dari manakah datangnya kejahatan dan kekerasan?” Bukankah pada awal penciptaan Allah telah mengatakan bahwa segala sesuatu yang Ia ciptakan adalah baik adanya? Terminologi “baik adanya” mengandaikan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini baik, tidak ada ruang atau bahkan konsep untuk sebuah terminology jahat atau kekerasan. Pernyataan ini hanyalah sebuah idealisme dalam tataran akal budi.
Realitas konkrit dunia mengatakan bahwa kejahatan dan tindak kekerasan itu ada dan berdiam dalam diri manusia. Jika demikian, mengapa Tuhan mengatakan bahwa segala sesuatu yang diciptakan adalah baik adanya?  Kodrat dari segala yang ada, termasuk manusia adalah baik. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang tertinggi dari segala ciptaan yang lain. Manusia memiliki akal budi dan kehendak bebas untuk bertindak. Jadi, keberadaan kejahatan dan kekerasan di dunia disebabkan oleh kehendak bebas manusia untuk berbuat. Terjadinya kekerasan dalam keluarga dikarenakan oleh penyalahgunaan kehendak bebas yang telah dianugerahkan Tuhan.   








            

























                                                                              



[1] Piet Go. O. Carm, Sex dan Perkawinan, Seri Teologi Widya Sasana, Malang, 1982, hlm. 14.
[2] Karl – Heinz Peschke SVD, Etika Kristiani, jilid 2, Ledalero, Maumere, 2003, hlm. 33.
[3] S.T. Vambriarto, Sosiologi Pendidikan, Yayasan Paramita, Yogyakarta, 1982, hlm. 43.
[4] Bdk, Ibid, Karl – Heinz Peschke SVD, hlm. 35-36.
[6] P.Go. O. Carm, Diktat Teologi Moral Fundamenta, STFT Widya Sasana, Malang, 2003, hlm. 13
[7] Dr. William Chang, Pengantar Teologi Moral, Kanisius, Yogyakarta, 2001, hlm. 75
[8] Opcit, P.Go. O. Carm, hlm.14.
[9] Bdk. Katekismus Gereja Katolik, Artikel 7 Sakramen Perkawinan,Percetakan Arnoldus, Ende, 1998, hlm. 403

Tidak ada komentar:

Posting Komentar