Selasa, 16 November 2010

OTOIMUNITAS SEBAGAI PERISTIWA BUNUH DIRI NYATA DAN SIMBOLIS

1. Pengantar
            Perdebatan mengenai terorisme menjadi marak setelah terjadi serangan terhadap menara kembar WTC pada tanggal 11 September 2001 di New York, Amerika Serikat. Kuat dugaan bahwa aksi serangan teroris itu dilakukan oleh aktivis jaringan Al-Qaidah pimpinan Usamah Bin Laden. Menjadi pertanyaannya adalah apakah sebenarnya arti otoimunitas itu sesungguhnya? Derrida mengistilahkan peristiwa 11 september sebagai sebuah otoimunitas, yaitu peristiwa bunuh diri yang nyata dan simbolis. Bunuh diri nyata hendak mengatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi dalam sejarah manusia, dalam ruang dan waktu. Oleh karena terjadi dalam sejarah manusia, orang menamainya dengan istilah “11 September”. Secara simbolis, hendak mengungkapkan keruntuhan dominasi Amerika dalam bidang ekonomi. Derrida mengatakan bahwa menandai suatu tanggal dalam sejarah mengandaikan sesuatu itu belum kita ketahui bagaimana mengidentifikasi, menentukan, mengenali, atau menganalisanya. Sesuatu itu terjadi untuk pertama atau terakhir kali.[1] Dalam memberikan penjelasan tentang otoimunitas, ia menjelaskannya dalam tiga momen, yaitu: Otoimunitas sebagai bunuh diri ganda, otoimunitas sebagai pengalaman traumatis, dan otoimunitas sebagai lingkaran setan penindasan.

2. 11 September Sebuah Peristiwa Besar?
            Ketika berhadapan dengan peristiwa ini, mungkin kita tidak mempunyai konsep serta arti yang tersedia untuk menamai dengan cara lain peristiwa yang baru saja terjadi, yang dianggap sebagai peristiwa “Terorisme Internasional”. Penamaan 11 September bukan berasal dari keniscayaan ekonomis atau retoris. Kata “besar” dalam peristiwa ini bukan persoalan kuantitatif, ukuran menara, wilayah yang digempur, atau jumlah korban. Peristiwa besar di sini hendak mengatakan suatu kompleksitas mekanisme yang melibatkan sejarah, politik, serta media. Peranan media dan opini publik Amerika sangat berpengaruh dalam memberi kesan sebagai peristiwa besar. Peristiwa pembunuhan yang lebih besar juga terjadi di luar Amerika, seperti Kamboja, Rwanda, Palestina, dan Irak. Namun peristiwa tersebut tidak pernah menimbulkan suatu gejolak dan kesan sebagai peristiwa besar. Inilah contoh dari pengaruh bahasa dalam media. Bahasa tidak selalu hadir dalam wajah tunggal yang koheren, tetapi lebih sering menampilkan watak paradoksalnya.[2]

3. Bunuh Diri Ganda
            Di luar Amerika, seluruh dunia merasakan pelanggaran yang bukan hanya tanpa preseden[3], melainkan sebagai pelanggaran tipe baru. Apakah tipe baru itu? Derrida mengajak kita untuk mengingat kembali pelanggaran yang dilakukan Amerika terhadap para musuhnya sejak akhir perang dingin. Amerika memainkan peran dan kuasa tertinggi di antara negara yang berdaulat. Sebagai polisi dunia, Amerika dituntut menjamin kepercayaan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti hukum, transaksi politis dan diplomatis. Pada waktu yang bersamaan, Amerika memainkan perannya sebagai wasit dalam semua konflik, melalui kehadirannya yang dominan di PBB dan di institusi internasional. Negara ini tidak terkena sangsi dari PBB ketika tidak menghormati semangat dan institusi serta keputusan negara lain.
            Gejala pertama otoimunitas bunuh diri adalah agresi terhadap obyek yang terekspos. Agresi ini datang dari kekuatan yang bukan berasal dari kekuatan mereka sendiri. Kekuatan mereka diperoleh melalui tipu muslihat dan implementasi pengetahuan tekhnologi tinggi untuk memperoleh senjata di Amerika. Para pembajak diimigrasikan, dilatih, dipersiapkan untuk keperluan dan misi terselubung di Amerika. Mereka menggabungkan dua jenis bunuh diri menjadi satu yaitu bunuh diri mereka sendiri dan bunuh diri mereka yang telah membantu melatih dan mempersenjatai. Amerika dalam kenyataannya membuka jalan untuk mengkonsolidasikan kekuatan lawan dan melatih orang-orang seperti “Bin-Laden” yang menjadi contoh paling mencolok dengan menciptakan situasi politik militer yang mendukung pemunculan dan pergeseran kesetiaan mereka. Mereka yang melakukan bunuh diri ganda tentunya telah menyesuaikan kekuatan dengan sistem ekonomi yang luar biasa. Kekuatan ini telah menghantam hati serta kepala simbolis tata dunia yang berlaku. Pada tataran kepala, bunuh diri ganda telah menyentuh dua tempat yang esensial secara simbolis dan operasional terhadap gedung WTC sebagai pusat perekonomian yang memiliki banyak cabang di seluruh dunia dan sebagai tempat strategi, pusat kemiliteran dan administratif Amerika.

4. Peristiwa Traumatis                                                                                 
Peristiwa traumatis merupakan suatu peristiwa yang dialami oleh seseorang yang selalu membangkitkan goncangan mental. Peristiwa traumatis juga senantiasa menimbulkan luka dalam kehidupan sehari-hari. Peristiwa traumatis bukan hanya sebagai sebuah peristiwa dalam ingatan tentang apa yang terjadi, tetapi peristiwa tersebut dihubungkan dengan saat ini atau dengan masa lalu.  Peristiwa 11 september telah menimbulkan  suatu trauma masa depan. Trauma itu ada di kepala setiap orang, terutama para penguasa negara. Atas dasar itu, mereka membuat berbagai mekanisme pertahanan. Suatu proses imunisasi dibangun terhadap lingkungan mereka sendiri. Akibatnya imunisasi itu jadi batal dan setiap bangsa atau warga negara merasa pertahanan dirinya sangat lemah, dan setiap saat bisa dihancurkan oleh terorisme.
Mereka tidak tahu siapa musuhnya, dari mana asal teror yang nantinya akan datang, dan siapa yang salah jika teror itu datang. Semua hal itu tidak jelas, yang jelas adalah bahwa semua ketakutan dan ancaman kekerasan telah menjadi peristiwa bawah sadar dan juga mempengaruhi bawah sadar mereka. Setiap peristiwa bawah sadar, mereka tekan dan proyeksikan seakan-akan bukan berasal dari mereka. Padahal itu terjadi dalam diri mereka dan memakan bawah sadar mereka. Dengan adanya kondisi bawah sadar yang demikian, mereka membuat pertahanan terhadap kekerasan. Tanpa disadari, cara demikian telah merusak bawah sadar mereka. Hal inilah yang dinamakan proses otoimunisasi yang berbahaya.  

5. Lingkaran Setan Penindasan
            Otomunitas ketiga merupakan lanjutan dari tahap sebelumnya. Dalam Otomunitas tahap ini, kita dibawa masuk ke dalam lingkaran setan penindasan. Dengan mengatasnamakan perang terhadap terorisme, semua bentuk kekerasan dapat dilakukan. Disamping itu, si pelaku teror boleh melakukan kekerasan, juga dengan mengatasnamakan teror tersebut, karena dengan cara inilah mereka merasa dapat melawan teror yang ditujukan pada diri mereka. Hal ini benar-benar memperlihatkan suatu proses balas dendam dan kekerasan yang berkepanjangan.
            Memang kita tidak dapat mengatakan bahwa kemanusiaan tidak mempunyai pertahanan terhadap ancaman kejahatan ini. Tetapi kita tidak mengetahui bahwa pertahanan-pertahanan dan segala bentuk apapun yang disebut dengan dua kata yang sama-sama mengandung suatu problematis “perang atas terorisme” akan berfungsi membangkitkan kembali kekerasan, kejahatan dan juga balas dendam yang sebenarnya  ingin di berantas. Di sinilah terjadi, bahwa masyarakat atau warga merasa membangun pertahanan baru, padahal dengan demikian menghancurkan seluruh sistem pertahanannya sendiri.[4] Hal ini terjadi setiap kali, tanpa disadari dan begitu seterusnya sampai tak berkesudahan.
            Dari Fenomena di atas, Derrida berpendapat bahwa terminologi terorisme perlu “didekonstruksi”. Dalam arti tertentu kita perlu berhati-hati menggunakan istilah “terorisme” terutama “terorisme Internasional”. Dari sinilah Derrida mempertanyakan kembali arti dari teror itu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Depdiknas mengatakan bahwa teror adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Lalu apa yang membedakan teror dari ketakutan, kegelisahan, dan juga kepanikan? Menurut Derrida teror yang terorganisasi dan terprovokasi jelas menimbulkan sebuah ketakutan.  Akan tetapi ia tanpa ragu berkata bahwa tidak setiap pengalaman teror merupakan dampak suatu terorisme. Derrida mencoba melihat sejarah kata “terorisme” sebagian besar ditarik dari suatu rujukan kepada pemerintahan Teror selama revolusi Prancis, suatu teror yang dilaksanakan atas nama negara dan bahwa sebenarnya mengandaikan suatu monopoli legal atas kekerasan.[5] Jadi definisi teror ini merujuk pada suatu kejahatan kepada hidup manusia didalam pelanggaran hukum-hukum nasional dan internasional yang sekaligus melibatkan distingsi antara sipil dan militer.
            Peristiwa 11 september menjadi bahan pokok wacana politik resmi di seluruh dunia. PBB sebagai sebuah lembaga tertinggi di dunia mengutuk peristiwa ini dengan menyebutnya sebagai sebuah “terorisme Internasional”. Berkaitan dengan hal ini Derrida tidak berani menyebut pihak mana yang lebih teroris, karena dengan tindakan Amerika menyerang Afganistan dengan mengatasnamakan perang terhadap terorisme jelas merupakan suatu teror. Fenomena inilah yang menjadi sebuah otomunitas dari lingkaran setan penindasan.

6. Kesimpulan
            Berdasarkan fenomena otoimunitas tersebut, Derrida mengajak kita untuk mengakui, bahwa kekerasan dalam terorisme tidak bisa dilawan dengan tindakan kekerasan,  karena hal ini hanya akan menciptakan sebuah pengalaman traumatis dan membentuk lingkaran setan kekerasan yang tidak akan pernah berhenti. Mengatasi terorisme dengan invansi militer justru akan melahirkan terorisme gaya baru. Pada akhirnya Derrida memperkenalkan sebuah gagasan baru berkaitan dengan hospitaly (keramahtamahan) sebagai perwujudan yang diharapkan akan mampu mengatasi permasalahan ini. Hospitaly mewajibkan penerimaan the others yang tersisih, tertindas, dan terhempas tanpa syarat. The others hadir secara begitu saja tanpa kita dapat menolakanya. [6]
















[1] Giovanna Borradori (Edt, Alfons Taryadi), Filsafat Dalam Masa Teror, Kompas: Jakarta, 2005, hlm.122.
[2] Muhammad Al – Fayyadl, Derrida, Pustaka Indah: Jakarta, 2006, hlm. 64.
[3] Hal yang telah terjadi lebih dahulu dan dipakai sebagai contoh untuk masa depan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Balai Pustaka, 2005, hlm. 895.)
[4] Sindhunata, Dalam Majalah Basis, November-Desember 2005, hlm. 3.
[5] Op Cit, hlm. 148-149.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar