Selasa, 16 November 2010

KONSEP KEADILAN ANTARA PEREMPUAN DAN AGAMA

Simon Ria
(06.09042.000064)

“Hawa tercipta di dunia, untuk menemani sang Adam, begitu juga dirimu, tercipta tuk temani aku..........”
            Ini adalah kutipan lagu yang pernah dinyanyikan oleh group band Dewa 19. Menurut saya, lagu ini memberi kesan ketimpangan gender antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Adanya perempuan di dunia, seakan-akan hanya sebagai pendamping kaum pria. Sebagaimana kita ketahui bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan semartabat, sebagai manusia yang memiliki kesamaan citra dihadapan Allah. Namun, dalam realitas sehari-hari, kita sering melihat ketidakadilan yang melahirkan kekerasan, terutama terhadap perempuan dalam berbagai bidang sosial, budaya, dan agama. Isu perbedaan gender yang menguasai realitas sosial budaya adalah buktinya. Pembedaan ini sangat berpengaruh bagi ruang gerak perempuan dalam menjalani kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Dalam masyarakat, kita kerap menyaksikan kekerasan terhadap perempuan dengan berbagai alasannya seperti kekerasan fisik, emosional, dan psikologi, entah dalam rumah tangga maupun dalam masyarakat, agama, media massa, politik, dan negara. Jika melihat kaitan antara perempuan dan agama, akhir-akhir ini muncul sebuah perubahan paradigma yang melihat kaitan antara perempuan dan agama secara lebih positif. Paradigma ini ditandai dengan lahirnya agama dan berkembangnya berbagai aliansi demi memperjuangkan martabat  perempuan.
            Sebelumnya sebuah paradigma lama cenderung mengidentisir agama sebagai salah satu sumber kekerasan terhadap perempuan. Agama dituduh sebagai biang lahirnya kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan terhadap perempuan. Kaum agama dinilai telah salah menafsirkan doktrin, ajaran, dan teks-teks kitab suci yang meminggirkan peran perempuan dalam kehidupan bersama. Perempuan dalam paradigma lama menjadi obyek teologi. Namun kini, perempuan menjadi subyek teologi. Dalam perspektif agama Katolik dan Islam, peran kaum wanita diakui secara istimewa dalam diri Maria. Maria diterima sebagai yang mengandung, melahirkan, mendidik, dan mendewasakan Yesus. Peranan Maria juga diakui sedemikian penting dan istimewa dalam karya dan sejarah keselamatan Allah. Dalam posisi itu, martabat perempuan telah diangkat tinggi, bukan saja sebagai citra Allah, tetapi sebagai Bunda Penebus.
            Kekerasan terhadap perempuan telah menjadi fenomena kontrabudaya. Oleh karena itu, sinergi antara agama dan perempuan dalam melawan kekerasan dapat menjadi gerakan kultural melawan kekerasan, bukan saja terhadap perempuan, melainkan terhadap kemanusiaan. Betapa indahnya bila jaringan-jaringan yang membela perempuan terhadap kekerasan dapat bekerja sama dengan agama. Secara normatif, semua agama adalah antikekerasan. Maka, normativitas ini cukup menjadi alasan untuk jalinan kerja sama dengan jaringan-jaringan pembela perempuan yang ada. Jika demikian, maka efektivitas dan efisiensi gerakan itu akan semakin kuat dan kokoh dalam melawan kekerasan terhadap perempuan dan kemanusiaan. Sinergi antara agama dan jaringan pembela perempuan akan memaksimalkan usaha untuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan gender. Penegakan keadilan gender dan pembelaan korban ketidakadilan gender akan semakin terberdayakan. Alangkah indahnya dunia ini, manakala perempuan yang merupakan mayoritas makhluk Tuhan menjadi pelopor anti kekerasan di tengah kehidupan dengan hati, kerahiman, dan kasih sayang mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar