Selasa, 16 November 2010

AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI


Simon Ria 06.09042.0000.64
Masih terekam jelas dalam ingatan kita berbagai peristiwa alam dan kejahatan yang terjadi akhir-akhir ini. Kita mengingat peristiwa tsunami yang melanda Aceh, peristiwa terorisme yang meruntuhkan menara kembar WTC di Amerika Serikat, peristiwa bom Bali dan masih banyak lagi peristiwa kekerasan yang merenggut nyawa manusia tak berdosa. Dalam situasi seperti ini, orang selalu memberi pernyataan, “ Di manakah Tuhan ketika semua peristiwa ini terjadi” ? Mengapa Tuhan membiarkan peristiwa itu terjadi? Seorang filsuf post modern pernah memberikan jawaban kritis berhubungan dengan peristiwa terorisme di Amerika Serikat. “ Pada hari ini (11 September 2001) seluruh warga Amerika bertanya-tanya, di manakah Engkau Tuhan. Mengapa mereka mencari Tuhan lagi? Bukankah mereka telah mengusir Tuhan dari kehidupan mereka”? Simbol-simbol agama, upacara keagamaan, nilai religiusitas dalam masyarakat tidak lagi dipedulikan. Nilai yang hidup dalam masyarakat adalah konsumerisme, individualistik, serta egosentris.
Berbagai bencana yang melanda bangsa Indonesia akhir-akhir ini, membawa orang pada suatu pertanyaan di manakah Tuhan. Manusia mulai meragukan eksistensi Tuhan. Benarkah Tuhan itu sungguh ada? Bukankah Tuhan itu maha baik, maha pengasih, maha penyayang, maha pengampun? Jikalau Tuhan itu baik, mengapa Ia membiarkan bencana alam terjadi, mengapa kejahatan masih terus merajalela? Tuhan berpihak pada kejahatan ataukah pada kebaikan? Menanggapi realitas ini, manusia begitu mudah membuat kesimpulan sepihak bahwa Tuhan sesungguhnya tidak ada. Sangat ironis jika kita mengadili Tuhan dengan model pertanyaan demikian. Sejak kita dilahirkan, bukankah kita telah memperoleh kehendak bebas untuk berrtindak baik atau buruk? Menurut saya, semua kejahatan yang terjadi dewasa ini berada di luar tanggung jawab Tuhan sebagai pencipta. Manusia berinisiatif untuk bertindak secara tahu dan mau.
Agama adalah suatu nilai religius kehidupan bersama manusia dengan keistimewaan karakteristiknya yang berpusat pada penghayatan hubungan dengan Allah. Penghayatan hubungan dengan Allah memberikan dampak positif bagi manusia dalam menjalin hubungan dengan sesamanya. Berdasakan pengandaian hubungan di atas, sangat bertolak belakang jika kita melihat realitas kehidupan bersama kita dalam masyarakat Indonesia. Kekerasan dan pembunuhan yang terjadi justru sebagai dampak dari penghayatan nilai agama yang fundamental. Muncul suatu konsep pemikiran baru bahwa tindakan membunuh demi nama Allah adalah suatu pahala dan menjadi berkat bagi orang yang melakukannya. Menjadi sebuah pertanyaan bagi saya adalah Allah model apakah yang mereka sembah yang mengijinkan umatnya berbuat kejahatan?
Semua manusia akan setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa “ Agama manapun selalu mengajarkan nilai kebaikan kepada tiap penganutnya”. Hal ini mengindikasikan bahwa tindak kekerasan atas nama agama disebabkan oleh individu yang salah dalam menafsirkan ajaran agama yang dianut. Fanatisme yang berlebihan membuat orang berpandangan bahwa agamanya yang paling benar, sedangkan di luar dari itu adalah salah dan disebut sebagai kafir. Label kafir inilah menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam masyarakat. Berbagai contoh terorisme yang telah saya paparkan di atas adalah hasil dari konsep pemikiran seperti ini. Agama adalah sarana bagi manusia untuk menjalin relasi dengan Tuhan, serta mengaktualisasikan relasi itu dalam kehidupan bersama dengan manusia lain.           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar